Pengantar Redaksi
Dani Satria, pemerhati dan juga pelaku seni bunyi, diminta oleh Tim Redaksi Muarasuara untuk menuangkan pendapatnya mengenai musik eksperimental berdasarkan pengalamannya. Setelah berdiksusi, kami menyetujui idenya untuk mengulas 6 album yang dirilis pelaku musik eksperimental Indonesia yang menurutnya tergolong baik. Menurut kami, pilihannya menjadi relevan karena dalam satu dekade ini (2010-2020) musik eksperimental mengalami perkembangan yang pesat di Indonesia. Salah satu indikatornya adalah lahirnya beberapa Festival untuk mewadahi para pelaku seni bunyi atau pun musik eksperimental di Indonesia; Jogja Noise Bombing di tahun 2012, Chaos Non Musica di tahun 2017, Malang Sub Noise dan Nusasonic pada 2018, Muarasuara pada 2019, dan beberapa event lain yang tidak dapat kami jabarkan satu per satu. Kami juga sejalan dengan keinginan penulis, diharapkan daftar yang dihadirkan disini dapat menjadi bahan diskusi, baik berupa masukan maupun perihal bersepakat atau tidak.

Beberapa hari sebelum lebaran 2020, saya sempat sedikit memanifestasikan ulasan pendek album Sujud ke dalam tulisan. Panjangnya kira-kira 350-an kata alias capsule review khas majalah cetak. Tentu saja berisi puja-puji sebagus apa album ini. Jelas sangat jauh bila dibilang sebagai kritik musik. Sebelum dikirimkan (ke Muarasuara -red), saya merasa sekonyong-konyong ada yang kurang. Saya menilai ada beberapa album lagi yang menurut pribadi perlu diwaritakan juga. Menurut saya, harus ada album selain Sujud-nya Senyawa tadi.
Saya kemudian menyusun daftar rilisan musik eksperimental lokal yang diterbitkan selama satu dasawarsa 2010, dan selanjutnya menyortir enam terbaik menurut tafsiran saya (dari belasan album yang saya catat). Album ini tentunya merupakan rilisan yang menjadi rujukan individual dan acap kali saya putar. Meskipun beberapa album dalam uraian ini dirilis oleh label mancanegara, namun penggubahnya (sejauh pengetahuan saya) memang diketahui sebagai Warga Negara Indonesia. Atas dasar itu, saya menganggapnya sebagai rilisan lokal. Mungkin ada yang sependapat maupun yang tidak, semuanya sah-sah saja. Hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa album-album ini telah menjadi ikon musik eksperimental nasional selama satu dekade terakhir.
Berasas pengertian sederhana, diketahui bahwa musik eksperimental dapat diejawantahkan sebagai olahan bunyi yang mengedepankan eksplorasi tanpa batasan. Komposisinya biasanya menjurus radikal dengan spontanitas yang tak terduga dan bergerak di luar tradisi. Inovasi adalah denyut gagasan yang meresap dalam setiap ramuannya. Musik eksperimental juga beririsan (atau mungkin berdiri sendiri?) dengan musik avant-garde yang mengkritik konvensi estetika dan menolak status quo. Sedangkan untuk turunan di bawah musik eksperimental ada beberapa sub genre, di antaranya yang saya familiar misalnya ambient, minimalism, drone, noise, free jazz, improve, sound collage, sound art, kosmische sampai mutant techno. Tentunya masih banyak lagi.
Di Indonesia sendiri, selama dekade 2010 begitu banyak rilisan eksperimental yang dikerjakan oleh seniman bebunyian dalam negeri, kuantitasnya mungkin mencapai ratusan sampai ribuan. Alirannya juga sangat beragam dengan referensi/mazhab yang berbagai macam. Banyak pula yang gelombang resonansinya telah menyeberang ke lintas negara, diapresiasi baik dan tersohor bukan main. Konon, musik eksperimental di Indonesia mulai tumbuh sekitar pertengahan tahun 90-an dan saat ini usaianya telah lebih dari dua dasawarsa. Dokumentasi sepak terjangnya semakin hari semakin terarsip dengan baik. Sedangkan daftar ini, sekali lagi, hanya mengambil rilisan album yang terbit dalam kurun waktu tahun 2010 sampai 2019 saja. Jika pembaca ada masukan, mari kita bertukar pikiran.

HOXXXYA
Gabber Modus Operandi
SVBKVLT, 2019
Album kedua dari duo seniman kontemporer/musisi Gabber Modus Operandi, HOXXXYA (2019) adalah sebuah kelanjutan dari agresi aneh yang menggedor gendang telinga. Album ini tentunya terdengar lebih klimaks apabila dibandingkan dengan album perdananya Puxxximaxxx (2018) yang dirilis oleh Yes No Wave Music. Selain digital, HOXXXYA juga dirilis dalam medium vinyl di tahun 2020 ini via Boomkat.
Mereka adalah Kasimyn dan Ican Harem yang meleburkan elemen musik gabber/hard trance/tribal/experimental/gamelan menjadi satu degupan kencang serta berdistorsi pekat. Ini merupakan sebuah wujud ekspresi yang sangat bagak, liar dan tanpa kendali. Belum lagi jika menyaksikan aksi panggungnya yang ekstrem, layaknya menonton aksi debus atau kuda lumping diiringi musik disko pemecah lantai dansa. Duo tersebut seperti kerasukan roh leluhur akibat mengoplos musik dansa dengan ritual trance Jawa secara paksa. Hasilnya adalah sebuah paduan sonik di batas-batas yang sulit dideskripsikan (antara dansa koplo dan noise).
Kehebatan mereka yang paling paripurna adalah berhasil menangkap fenomena budaya serta mengolah musik tradisi yang sarat kesakralan menjadi sesuatu yang baru dan terasa artifisial. Modern dan melampaui batas ekspektasi, baik dari sisi musik maupun aksi anjungnya. Ditambah dengan efek suara intens yang ekstrem, misalnya pada track “Padang Galaxxx”.
Mungkin HOXXXYA adalah album dengan akulturasi budaya Indonesia paling kompleks dan esensial saat ini. Pendengar akan disajikan mulai dari alat musik tradisional sampai hantu Genderuwo-nya. Siapkan telinga kalian dan menarilah dalam dentuman hardcore-nya.

Realitas Khayal
Aksan Sjuman and The Committee of The Fest Demajors, 2014
Ini merupakan album musik eksperimental lokal yang paling kerap saya dengar di tahun 2019-2020. Eksperimentasinya di luar seragam banal musik pop, rock, jazz dan swing, dengan perpindahan antar lapisannya yang subtil. Semakin intens anda dengar, album ini akan semakin membuat ketagihan. Ketika album diputar, distorsi manisnya akan memenuhi seluruh relung di sekitar anda tanpa ada rasa mengganggu sedikitpun walaupun kadang bernuansa getir.
Mungkin, proyek ini merupakan sebuah upaya keluar dari zona nyaman dari seorang Aksan Sjuman dkk dalam mengeksplorasi berbagai kelir musik. Karena kita tahu, selama berkarir, pria dengan nama lengkap Sri Aksana Sjuman ini telah banyak berkontribusi dalam berbagai proyek musik. Di grup band Dewa 19, Aksan turut andil membidani album terbaik mereka yang berjudul “Pandawa Lima” pada tahun 1997. Bersama band Potret, dia merilis From Dawn to Beyond (2001), Positive+POSITIVE (2003) dan I Just Wanna Say I L U (2008). Di bidang scoring film pun juga tidak kalah sohor, dengan ilustrasi musik pada film semacam Laskar Pelangi (2008), Garuda didadaku (2008), King (2008), Sang Pemimpi (2009) dan lain sebagainya. Serta tidak lupa, telah turut menyukseskan Pekan Komponis Indonesia di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang akhir-akhir ini membahas musik eksperimental.
Produktivitas Aksan tidak hanya mandek disitu saja. Pada circa 2010-an, dia dalam band Aksan Sjuman And The Committee of The Fests (ASATCOTF) telah merilis album berlanggam aura surreal yang berjudul Realitas Khayal pada tahun 2014. Ibaratnya, seluruh lapisan fantasi psychedelic digabungkan ke kanvas ini. ASATCOFT adalah kolaborasi antara Aksan Sjuman (drum) dengan para musisi seperti Indra Perkasa (contrabass), Nikita Dompas, Dion Janapriya (gitar), Mery Kasiman (rhodes/synth) dan Kartika Jahja (vokal). Sampul album Realitas Khayal mengingatkan kita pada artwork album populer The Beatles, Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band. Dari sampul albumnya tersebut, kita bisa coba menerka seperti apa khalayan di kepala mereka.
Realitas khayal menyajikan suasana bak di dunia simulacra yang berlapis-lapis, dengan akar utama jazz di enam lagunya. Banyak elemen-elemen dan plot tidak tertebak yang masuk dalam eksperimentasinya. Desain lagu yang tidak biasa ditambah dengan harmonisasi yang unik dari beberapa leburan genre seperti pop, swing dan rock, membuat album ini punya daya jelajah luas. Kejutan sonik yang tidak dapat diprediksi arahnya dipandu oleh riff gitar kasar seraya disisipi dengan nada-nada legit. Formula ini telah menerobos batas pakem-pakem tradisional yang ada. Mungkin ini adalah album eksperimental yang paling nge-pop dalam lis ini. Bagi saya, album Realitas Khayal menyumbangkan warna eksperimental baru dalam rilisan Demajors dan tentunya sangat istimewa. Realitas Khayal ini merupakan proyek idealis Aksan dkk yang groundbreaking.

Weathered
Roman Catholic Skulls
Siko Records, 2012
“Yang paling monumental tentu saja adalah “Drooling Ghoul (Roman Catholized)”, komposisi drone sepanjang 9 menit 10 detik dari album Weathered (2012) – salah satu gubahan paling syahdu yang pernah ditulis untuk skena musik Indonesia. Hilang semua denting piano gereja atau lirik tentang sakramen, yang ada hanyalah satu nada berderau panjang, naik dan turun dalam interval teratur yang membius, membawa pengalaman ekstase yang barangkali sedang digandrungi oleh penari darwis yang mabuk menuju cahaya.” Ujar Taufiq Rahman dalam buku Pop Kosong Berbunyi Nyaring, terbitan Elevation Books tahun 2012.
Memang, tak bisa dipungkiri bahwa Roman Catholic Skulls (RCS) – kolektif Marcel Thee dan Danif Pradana, merupakan peracik musik/sound drone atomosferik terbaik di Indonesia. Konfigurasinya begitu paten. Walau tanpa visualisasi apapun, deru album ini kontan dapat membangkitkan imajinasi teatrikal di lapisan serebrum.
RCS berbeda dengan para pelaku noise/experimental/drone lain di Indonesia. Mereka memiliki sentuhan magis dan spiritual di balik gemuruh kebisingannya. Sedangkan albumnya, Weathered (2012) adalah karya ulung yang pernah mereka ciptakan sekaligus benchmark bagi para pelaku noise/experimental. Rasio antara kebisingan dan kenyarikannya begitu pas.
Weathered sendiri dirilis oleh label Siko Records asal Helsinki. Finlandia dan via netlabel deathrockstars tahun 2012, serta Elevation Records tahun 2013. Album yang berarti lapuk (dimakan cuaca) ini merupakan sebuah kumpulan bahana drone yang mengedepankan atmosfir utopis dan ambient, yang lahir dari pengerjaan intensif selama dua bulan yang dimulai sekitar Juli 2011. Selama pengerjaannya pun tidak ada prekonsepsi dari musik ataupun nuansa yang akan dibuat.
Pendengar akan dibiarkan sendiri menemukan hikmah laten yang terkandung dalam setiap track. Perhatikan saja pada kemegahan track pertama “Weather, Champions”, yang menampilkan gemuruh suara alam seperti ocehan burung, ringikan kuda dan desau cuaca yang mengawang dan kadang lesap. Delusinya diakhiri dengan aura asa sampai ke titik zenit. Selanjutnya pada “Secret Enemies” yang kelam dan “Skyscrapers Falling Onto Each Other” yang angker serta psychedelic. Dapat dikatakan Weathered merupakan musik (atau mungkin bukan musik?) noise/eksperimental sangat layak dengar. Sebab, di balik gemuruh dan dengungannya terdapat keteraturan serta keindahannya yang terkonsep dengan baik, yang tentunya sangat menarik disimak dari awal sampai akhir.

Khawagaka
Zoo
Yes No Wave, 2019
Kolektif musik yang beranggotakan Rully Shabara, Ramberto Agozali, Bhakti Prasetyo dan Dimas Budi Satya ini adalah masternya dalam bereksperimen laras yang beririsan dengan budaya. Zoo berhasil menciptakan semesta historisnya sendiri dan membangun peradaban dalam diskursus musik yang penuh pintasan. Di Khawagaka (2019) Zoo seakan mewujudkan gagasan sains akademik populer karya Jared Diamond yang berjudul “Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed” ke dalam rapalan mantra.
Sedangkan album-albumnya yang dirilis oleh netlabel Yes No Wave Music adalah bukti keberhasilannya dalam meramu musik lintas batas. Seperti EP Kebun Binatang (2007) dan trilogi album mautnya: Trilogi Peradaban (2009), Prasasti (2012) dan Samasthamarta (2015) adalah burhan bahwa Zoo adalah semesta dalam kisahan besar. Lalu, album paling mutakhirnya, Khawagaka yang juga dirilis oleh netlabel Yes No Wave Music merupakan sebuah fragmen baru yang prinsipil sekaligus penyempurna album sebelumnya.
Seperti diketahui, Khawagaka adalah Enam Ajaran dasar dalam peradaban Samasthamarta, terbagi menjadi 17 ayat, yang mencakup berbagai konsep yang melandasi sistem kepercayaan; mulai dari penciptaan, keyakinan, perintah-larangan, sejarah, panduan, hingga ramalan. Kedahsyatan konsep Khawagaka di album Zoo ini antara lain adalah wujud karya non musikal berupa manuskrip yang berisi Zugrafi (aksara yang digunakan pada manuskrip tersebut) dan Zufrasi (bahasa tutur). Manuskrip asli Khawagaka berbentuk puluhan lembar kertas primitif yang terbuat dari daun lontar dan tinta alami.
Khawagaka adalah kumpulan artefak yang pernah dirilis Zoo, lengkap dengan fitur aksara, bahasa dan ajaran di dalamnya dalam bentuk kitab. Secara musik, Khawagaka lebih mengeksplorasi kebebasan dalam memanfaatkan noise, loops dan reverb. Dengan vokal Rully yang ganjil dan liar, Zoo berhasil menyebar kengerian saat nyanyian seperti rapalan mantra suci dimuntahkan. “Agakana”, “Gasyila” dan “Ahr-Taba” adalah konstruksi bunyi dan musik yang mungkin hanya dimiliki oleh Zoo di dunia ini.
Bila dilihat berdasarkan narasi besar albumnya, Khawagaka berlatar dunia post apocalyptic karena berisi jejak peninggalan dari kaum sebelumnya yang hancur di peradaban Samasthamarta (2015). Bisa dibilang Khawagaka adalah artefak yang tertinggal. Seluruh karya rekaan Zoo saling berkelindan dan berkelanjutan dengan apik dengan eksperimen musik serta cerita lengkap yang jarang ditemui di Indonesia.

Pekak! Indonesian Noise 1995-2015. 20 Years Of Experimental Music From Indonesia
Syrphe, 2018
Residu audio ini punya catatan sejarah sendiri. Di bentang mayapada, kehadirannya bergerak di bawah tanah, namun gairahnya kuat terasa sampai permukaan. Getaran dan raungan dari para pelaku kebisingan (noise) dan musik eksperimental di Indonesia telah menggema di kancah internasional. Noise di Indonesia merupakan genre yang cukup diminati oleh masyarakat global, terbukti dengan banyaknya artis bising lokal yang album/single-nya dirilis oleh label atau netlabel luar negeri. Lalu, apakah noise termasuk ke dalam genre musik? Mungkin buku “Apa Itu Musik?” karya Karina Andjani terbitan tahun 2014, bisa menjadi referensi sahih untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Salah satu rilisan noise yang kudu diketahui oleh khalayak adalah kompilasi “Pekak! Indonesian Noise 1995-2015. 20 Years Of Experimental Music From Indonesia”. Pada dasarnya, ada dua label yang merilis album ini, yang pertama End Of The Alphabet Records asal Selandia Baru dalam medium kaset tahun 2015 dan Syrphe asal Jerman dalam format cakram padat tahun 2018. Dari kedua label mancanegara tersebut, rilisan dari Syrphe-lah yang paling komplit dan paripurna dalam mendokumentasikan aksi artis pekak bumi nusantara. Beberapa artis yang tergabung dalam kompilasi tersebut antara lain Roman Catholic Skulls, Jeritan, Asangata,Theo Nugraha, To Die, Lintang Radittya, Bergegas Mati, Sarana, Seek Six Sick, Senyawa dan Sodadosa.
Saat ini, para seniman bunyi dalam kompilasi tersebut punya aktivisme dan cara berkesenian sendiri-sendiri. Misalnya saja salah satunya adalah Theo Nugraha yang bereksperimen terhadap banyak hal, mulai dari menghunungkan noise dengan performance art, noise dengan graphic score dan menginisiasi berbagai proyek kesenian yang tidak umum. Theo adalah orang dalam skena noise yang tak pernah berhenti belajar dan membangun iklim noise agar selalu berdenyut.
Sebanyak 123 artis noise lokal memuntahkan amarahnya dalam format CD kompilasi, yang dirilis tepatnya pada tanggal 11 Jul 2018 tersebut. Pastinya, telinga dan otak pendengar diaduk-aduk oleh bebunyian dari ambient, avantgarde, musique concrète, experimental, noise, grindcore, noisecore, drone, IDM hingga industrial. Pendokumentasian 123 artis noise dalam album kompilasi ini dibantu oleh senior Indra Menus (To Die), sang ‘Haji Noise’ asal Yogyakarta. Indra juga merupakan penulis pustaka yang membahas geliat noise di Indonesia yang berjudul “Pekak! Skena Eksperimental Noise di Asia Tenggara dan Jepang”. Buku yang bisa menjadi catatan sejarah atas pergerakan bawah tanah genre yang mungkin jarang orang mengamatinya, sekaligus memberikan inspirasi kepada khalayak tentang sisi menarik dari noise.
Pekak! merupakan antologi terpadat dari para pengolah bebunyian dan tentunya bernilai sejarah tinggi. Pusparagam ini sangatlah penting dalam memaparkan riwayat subkultur yang pernah berkembang di Indonesia. Tentunya, Pekak! Juga merupakan bingkisan atas peringatan 20 tahun musik eksperimental di Indonesia yang penuh dengan sikap antitesis terhadap musik dan segala hal. Kompilasi ini menjadi simbol counter culture yang berhasrat untuk berbuat ‘semau gue’.
Diketahui, arsip ini tersusun dari rekaman yang berasal dari berbagai sumber (live, kaset video, kaset lama dan MP3) dengan kualitas sumber yang sukar disamaratakan. Pekak! mendokumentasikan subkultur arus pinggir Indonesia yang tidak terdengar. Namun pada dekade ini, subkultur noise telah memperlihatkan kegaduhannya dengan adanya acara-acara semacam Jogja Noise Bombing, Chaos Non Musica, Nusasonic, Samarinda Noise Fest sampai Muarasuara.
Dekade 2010-an merupakan lahan basah atas menjamurnya para pelaku noise tanah air. Pada tahun 2015, telah dirilis film dokumenter tentang skena noise yang berjudul “Bising” karya Adythia Utama (Individual Distortion). Secara garis besar, dokumenter tersebut menceritakan tentang pertumbuhan noise di Indonesia dengan proses teknis pengumpulan data wawancara, penggalian opini dan aksi panggung yang liar, dari tahun 2010 sampai 2014. Menurut anda, noise itu musik apa bukan?

Sujud
Senyawa
Sublime Frequencies, 2018
Lompatan kreativitas album ini bagi saya sangat sulit untuk diuraikan. Album ini merajahkan nuansa yang baru dan aura ganjil di musik lokal. Mungkin beberapa ada yang terinspirasi dan mencoba mengikutinya. Namun nampaknya, Senyawa akan sangat sulit untuk disamai.
Senyawa adalah kolektif eksperimental yang terbentuk pada tahun 2010 di Yogyakarta. Kini mereka menjelma sebagai band dunia dengan musik eksperimentalnya yang paten dan tentu berada di luar musik etnis. Selama karirnya yang telah satu dasawarsa, sudah banyak album yang digubah oleh duo Wukir Suryadi dan Rully Shabara ini. Mereka dikenal karena lagak-lagu kontemporer dan eksperimentasinya terhadap bunyi yang menyerupai tradisional, dengan pola lagu mendobrak tradisi.
Dalam susunan lagunya, vokal spoken word eksploratif Rully menunggal dengan petikan Wukir yang primal dan intens dalam memainkan Bambuwukir – instrumen bambu yang mampu memproduksi bunyi senar dan perkusi. Bambuwukir inilah yang membuat musik Senyawa tiada duanya. Sangat otentik dan antik.
Untuk memutuskan album mana yang terbaik sangatlah problematis, mengingat karya yang diwujudkan oleh Senyawa bukanlah sembarangan. Namun bagi saya pribadi, Sujud (2018) merupakan karya musik eksperimental terbaik Indonesia pada dekade 2010-an sekaligus karya ulung mereka. Karya ini perlu diketahui secara luas di Indonesia, entah apakah masyarakat siap atau tidak. Melalui album Sujud yang mengemuka, Senyawa makbul menggempur tatanan klasik: morfologi lagu dan tutur kata yang digunakan.
Sujud dirilis pada 2 November 2018 oleh label rekaman Sublime Frequencies yang berbasis di Seattle. Diskografi album-album Senyawa dari awal sampai Sujud adalah sebuah evolusi bunyi yang semakin komprehensif dan inovatif. Sifat antar albumnya sangat konstruktif, sehingga dari Senyawa (2010), Acaraki (2013), Menjadi (2015) dan Bronshoj (2016) seakan tidak bisa dibandingkan santu sama lain. Mereka memiliki semesta dan predestinasinya masing-masing.
Dalam Sujud, Senyawa mengambil tema tanah sebagai wujud narasi besarnya tentang alam. Seperti contohnya pada lagu “Tanggalkan Di Dunia” (Undo the World) yang berhubungan dengan bumi atau tanah. Album ini ingin menceritakan ungkapan rasa cinta terhadap bumi yang dihuni manusia serta berkah yang telah didapatkan oleh makhluk hidup. Album ini terasa sangat spiritual dan terkadang mengejutkan seperti ledakan gunung berapi.
Dominasi atmosfer yang gelap dan pekat, mengingatkan pada band experimental metal seperti Sunn O))). Sujud berspektrum leburan senyawa noise, doom dan folk metal, yang menyeruak dari awal sampai terminasi. Semua elemen bebunyian itu diselimuti dengan keangkeran suara yang keluar dari mulut manusia. Suara yang berat dan rendah membangun emosi yang masif, terlebih ketika syair bak mantra-mantra terapalkan. Kita akan merasakan, pengaruh Senyawa dalam aksi dan karyanya ini sangat lekat dengan kebudayaan sekitar. Setiap petikan Bambuwukir yang menyempal, akan disambut oleh auman dan raungan. Sensasi ini menciptakan kegentingan dan tanda akan marabahaya.
Dani Satria memiliki proyek musik experimental/drone/ambient dengan alter sebagai The Kiriks. Saat ini berdomisili di Kendal, Jawa Tengah.
–