
Pada Januari 2020, Muarasuara berkesempatan untuk bertemu dengan Rully Shabara di kediamannya di Yogyakarta. Berangkat dari keingintahuan kami pada banyak proyek yang ia kerjakan, kemudian obrolan berfokus pada Zugrafi yang membuat kami penasaran, karena album termutakhir Zoo, Khawagaka (2019) sepenuhnya menggunakan aksara yang ia ciptakan tersebut. Mengapa ia perlu hadir? Proyek seperti apakah Zoo itu sebenarnya? Mula-mula ia menanyakan apa menurut kami Zugrafi tersebut. Entah apakah tanggapan kami tepat atau tidak, kemudian ia mulai menjelaskan Zoo dari album penuh pertamanya. Lalu, kami mengaktifkan perekam suara kami.
Rully Shabara
Oke, jadi album Peradaban (2009) itu berupa trilogi. Ada tiga babak. Walaupun sebenarnya secara durasi, karya ini bisa cukup dibuat hanya dalam satu CD, tapi aku buat menjadi trilogi agar temanya jelas. Babak satu berjudul “Neolithikum”. Babak dua berjudul “Mesolithikum”. Babak tiga berjudul “Paleolithikum”. Untuk yang mengetahui tentang sejarah peradaban, ini urutannya terbalik. Zaman yang lebih primitif kan Paleolithikum. Album ini dibuat terbalik supaya orang tahu, bahwa tema ini membicarakan regresi peradaban modern. Semua temanya seperti yang terjadi sekarang. Seperti buldoser, perampasan tanah, lalu kekacauan yang disebabkan oleh modernisasi. Apa pun yang berkaitan dengan peradaban modern itu lama-lama hancur dan kembali ke yang primitif.
Kemudian, pada tahun 2012 aku bingung. Tema album pertama ini kan tentang peradaban, selanjutnya apa dong, temanya? Nah biar lebih dalam dan jauh, kemudian aku membuat proyek ini jadi berubah total dengan mengeluarkan album Prasasti. Ini di tahun 2012. Kemasan albumnya benar-benar batu granit dengan berat kisaran 1,5 hingga 1,7 kilogram. Orang berpikir bahwa ini hanya gimmick. Tapi untuk apa juga aku beli batu semahal itu dan dibelah jadi dua ratus keping? Di dalamnya ada lirik yang tertulis dalam bahasa yang tidak dimengerti. Orang tidak tahu ini apa. Aksaranya seperti aksara primitif[1]Aksara ini bernama Zugrafi. Aksara ini khusus dibuat oleh Rully Shabara untuk memproduksi album “Prasasti”. Sedangkan bahasanya disebut dengan Bahasa Zufrasi. Apabila ada yang ingin mencoba men-decipher, ada petunjuknya di internet[2]Kamus proyek ini dapat diakses secara daring di https://www.khawagaka.id/#kamus. Kalau sudah mencari petunjuk di internet, nanti orang akan menemukan, bahwa ternyata isinya adalah sepuluh bahasa tradisional Indonesia. Jadi itu untuk menekankan bahwa album ini adalah tentang bahasa. Dan kenapa namanya Prasasti? Karena biasanya, sebuah peradaban itu ditemukan dari prasasti, dari aksaranya. Persis seperti album ini.
Kemudian di tahun 2015 Zoo mengeluarkan album. Album ini tidak ada fisiknya, tapi bisa di-download di internet. Kalau di-download, nanti ada semacam esai yang bergambar. Dalam proses membuat album ini, aku bekerja sama dengan firma konsultan arsitek di Jogja. Aku jabarkan konsepku ke mereka, terus aku bilang, “Tolong, dong, bikinkan aku empat peta. Blueprint sebuah kota. Dari bagaimana kota itu muncul, kemudian jadi makmur, lalu sampai hancur. Karena yang bikin ini adalah arsitek, jadi kalau blueprint ini benar-benar dibangun secara fisik, bisa. Dihitung semua, secara skala, sistem irigasi, sistem segala macamnya yang memang seperti kota. Blueprint itu sebenarnya untuk menjelaskan bahwa album ini adalah episode masa setelah album Prasasti.
Lantas, bagaimana dengan musiknya? Bagaimana tema arsitektur ini dijadikan musik? Dalam album ini ada sepuluh lagu. Itu aku ambil dari sepuluh struktur, atau sepuluh arsitektur, atau sepuluh legenda. Misalnya, Piramida Giza untuk yang beneran ada. Atau untuk yang fiksi…bukan fiksi, sih, tapi apa ya? Mitologi. Itu misalnya Jembatan Rama[3]Jembatan Adam, disebut juga Jembatan Sithubanda atau Rama Setu yang berarti “Jembatan Rama”, adalah rantai batu kapur antara pulau Mannar, di dekat Sri Lanka barat laut dan Rameswaram, di … Continue reading. Setiap struktur lama itu kan selalu memiliki legenda dan mitosnya sendiri-sendiri. Itu yang dijadikan karya. Itu yang aku eksplor. Dan biasanya mitologi-mitologi itu mempunyai garis besar yang sama, yaitu mengajarkan tentang nilai moral atau patokan hidup yang kemudian dianut oleh masyarakat dalam struktur tersebut. Jadi, struktur dari sepuluh cerita legenda itu digambarkan dengan arsitektur. Di dalam esai yang dapat di-download itu orang akan mempelajari sebuah peradaban yang hilang, namanya peradabannya: Samasthamarta. Judul albumnya Samasthamarta. Apa sih ini? Di situ dijelaskan bagaimana mitologi dan sejarah kota itu. Misalnya, bagaimana sebuah kota muncul. Lalu tentang sebuah pohon besar di tengah kota tersebut yang menghidupi warganya, dan juga bagaimana legenda di balik pohon itu. Ada kaitannya dengan ritual, spiritual, dan kepercayaan.
Kalau mau diceritakan, ada empat tahap kejadian pada kota tersebut. Kehancuran dimulai ketika pemerintah, atau raja, atau apa lah itu yang memerintah, ingin membuat kotanya menjadi lebih maju. Pohon beringin yang ada di tengah kota tersebut ditebang, diganti dengan monumen. Akan tetapi, bahkan sebelum monumennya dibangun, kota itu mengalami kekeringan. Dimulai dari lingkar luar kota tersebut, yang paling jauh dari akarnya. Karena daerah yang paling jauh dari akarnya habis karena kekeringan, mereka bertumpuk di pusat kota. Di tengah kota jadi banyak kekacauan. Akhirnya bangunan menjadi semakin ke atas karena lahannya hanya sedikit. Mereka membangun bangunan yang tinggi-tinggi, namun akhirnya hancur semua. Karena hancur, masyarakatnya jadi sadar, bahwa hanya dari pusat beringin tadi lah sumber air mereka. Akhirnya mereka berkeputusan, “Kita jadikan sumur!” Tapi agar orang-orang tidak rebutan dan sembarangan mengambil air, mereka menciptakan ritual. Harus ada prosesnya. Dan di lingkar sumur itu dipatri aksara-aksara yang menyerupai dengan aksara yang ada di album Prasasti. Makanya, arti nama Samasthamarta itu adalah “menjadi kekal adalah menjadi rata dengan tanah”.
Nah, di tahun 2018, kami menemukan manuskrip. Ada belasan manuskrip yang tertimbun di tanah. Mungkin bisa dilihat dulu videonya[4]Video dapat dilihat di: https://www.youtube.com/watch?v=3YFSDhsDdc8. Video ini dibuat sebelum merilis album selanjutnya, yang berjudul Khawagaka[5]Khawagaka sendiri dirilis pada 1 Januari 2019, pukul 00.00 waktu Kepulauan Line, Republik Kiribati (UTC+14), saat semua tempat di Bumi selain zona tersebut masih berada di tahun 2018. Penentuan ini … Continue reading. Video ini ibaratnya hanya teaser.
Syahrullah
Apakah ada arkeolog yang terlibat dalam proyek ini?
Rully Shabara
Ada, tapi mereka terlibat hanya sebagai konsultan. Jadi tidak benar-benar terlibat dalam penggarapan albumnya. Hanya untuk ditanya-tanya.
Robby Ocktavian
Berarti ini manuskrip dari peradabannya Samasthamarta itu ya?
Rully Shabara
Iya. Nah, berarti sekarang ada manuskripnya. Ternyata, setelah dipelajari dan dikelompokkan, manuskrip yang ditemukan itu berisi enam ajaran. Oh, ini ternyata agamanya. Berarti temanya adalah agama. Ini akan melandasi beberapa tahap selanjutnya. Ternyata, aksara yang tadi kita pelajari di album Prasasti sekarang menjadi sangat canggih. Ternyata kita bisa menemukan sistem kehidupanya. Tata bahasanya. Kalau sudah download itu font-nya, kalau kita mengetik huruf “M” bertemu huruf “I”, akan membentuk huruf baru. Seperti huruf Arab atau huruf Cina kalau diketik di komputer. Jadi bukan font sembarangan.
Robby Ocktavian
Proses penciptaan aksara Zugrafi-nya gimana tuh?
Rully Shabara
Metode untuk penciptaan aksaranya itu adalah dengan cara mengadakan workshop. Dua kali. Satu di Jogja, satunya di Jakarta. Di Jogja, workshop-nya adalah pengenalan tentang proyek ini. Aku bersama-sama dengan peserta workshop itu menjaring ide dan mengembangkan sistem agar proyek ini bisa hidup. Kemudian untuk workshop yang di Jakarta, aku ajarkan sistem cara tata bahasa aksaranya kepada para peserta workshop. Kemudian aku minta mereka menerjemahkan. Ada kamus online-nya untuk menerjemahkan Bahasa Zufrasi ke Bahasa Indonesia. Di kamus itu kamu hanya bisa memasukkan kata dasar saja. Tidak bisa “bepergian”, hanya bisa “pergi”. Ini akan memunculkan arti yang beragam, berbeda-beda. Contohnya kata “maha”. Itu bisa berarti tanah, bisa berarti kubur, bisa berarti menanam. Tergantung verb-nya. Itu semua diajarkan di workshop. Nah, para peserta workshop itu kan menerjemahkan hanya berdasarkan pengetahuan akan tata bahasa yang baru diajarkan plus melihat kamus. Mereka kumpulkan ke aku. Setelah dikumpulkan, aku kasih ke temanku yang memang profesinya adalah editor buku. Aku bilang, “Tolong, dong, editkan. Mau dicetak jadi buku, nih,” terus aku bilang juga, “tapi kalau kamu punya agenda, atau kamu pengin menyensor kata-katanya, atau kamu pengin menggantinya, ya monggo.” Karena aku pengin si editor ini jadi representasi Gereja atau Pemerintah, atau apa lah yang punya kuasa. Lalu juga, terjemahan bahasa Inggrisnya juga berlainan. Ini karena penerjemahnya, seperti kita tahu, ada yang menerjemahkan dari bahasa kedua. Jadi, dia tidak menerjemahkannya dari Bahasa Indonesia. Begitu kira-kira. Menariknya, begitu ini sampai ke tangan audiens, dan mereka membacanya, nanti mereka akan berpikir bahwa arti Bahasa Zufrasinya adalah apa yang sudah diedit ini. Tapi apakah iya? Kan prosesnya berlapis-lapis. Diinterpretasi oleh penerjemah, lalu diedit oleh editor. Hasilnya aku tahu seperti apa jauhnya, bedanya. Persis seperti apa yang terjadi di dunia nyata. Hal yang kita anggap benar itu,…apakah iya benar? Seperti apa prosesnya sebuah pengetahuan itu muncul lalu menyebar seperti virus?
Kalau audiens ingin mengerti sendiri isi kitabnya, audiens harus membandingkan ke beberapa ayat sampai bisa paham. Ini yang membuat isi kitab diterjemahkan dengan berbeda. Sebenarnya siapapun boleh dan bisa menerjemahkannya.
Robby Ocktavian
Ini aksaranya juga hasil dari workshop? Atau…?
Rully Shabara
Enggak. Aksaranya aku bikin. Sudah ada sebelum workshop. Cuma, masalahnya ya di pengembangan bahasanya. Aku libatkan juga yang peserta workshop di Jogja.
Robby Ocktavian
Kalau misalnya ada workshop di tempat lain, workshop-nya akan tetap berdasarkan Zugrafi ini?
Rully Shabara
Berdasarkan Zugrafi. Tapi aku akan dorong untuk menciptakan terjemahan versi lain. Karena album selanjutnya adalah teknologi. Setelah kita mengetahui peradaban ini memiliki sejarahnya sendiri, bahasanya sendiri, dan agamanya sendiri… ah, tapi ini bukan agama. Ngomong-ngomong, tidak ada satu pun manuskrip yang menyebutkan kata “Tuhan”. Ini…manuskrip itu adalah…
Robby Ocktavian
Kayak La Galigo, ya?
Rully Shabara
Nah, iya. Jadi ini lebih ke ajaran yang dituliskan oleh penyintas peradaban Samasthamarta sebelumnya. Jadi mereka menuliskan ajaran yang menurut mereka harus diterapkan oleh generasi selanjutnya. Karena mereka gagal. Kemudian manuskrip itu dianggap sebagai panduan hidup oleh generasi selanjutnya.
Dan sekarang setelah album Khawagaka ini, Zoo punya bahasanya sendiri, sejarahnya sendiri. Lagu-lagu awal sampai Samasthamarta yang arsitektur tidak pernah dibawakan lagi. Kita setop membawakan lagu lama, hanya membawakan lagu dari sini. Zoo, sebagai band yang mendakwahkan ini, sudah menjadi sumber inspirasi untuk kelompok musik lain. Jadi inspirasinya bukan lagi dari band tahun 1960-an atau apa. Tidak. Kita menciptakan sumber inspirasi kita sendiri yang bisa digali secara tidak terbatas. Aku jadi bisa berkesenian terus sampai tahun 2026. Aku punya sumber inspirasiku sendiri.
Terus, album selanjutnya adalah teknologi. Teknologi yang aku maksud di sini adalah soal teknologi pertaniannya, teknologi berburunya, teknologi memasaknya, pakaiannya… Nah ini aku akan melibatkan banyak orang. Siapa pun boleh terlibat dalam pengembangan proyek tahap ini.
Robby Ocktavian
Dalam dunianya seorang Rully, ini nih, peradaban ini letaknya di mana sih kalau di bumi? Kondisi alam geografisnya itu terletak di mana?
Rully Shabara
Itu aku bisa jawab sebenarnya. Tapi, aku tidak akan menjawabnya. Aku juga tidak mau memberi clue. Tapi, oke lah, aku kasih tahu sedikit. Itu bisa diketahui kalau manuskripnya dipelajari. Manuskrip itu diteliti. Itu akan mengandung beberapa unsur tanah dari berbagai macam tempat.
Syahrullah
Bikin orang-orang jadi arkeolog nih.
Rully Shabara
Iya, hahaha… Terus, setelah teknologi, yang mau digarap adalah migrasi dan bangsa-bangsa. Karena semuanya akan berpatok dari sini. Kalau ada terjemahan lain atau pemahaman lain, itu akan memunculkan kaum-kaum baru, kelompok-kelompok baru, bangsa-bangsa baru, suku-suku baru. Ini suku-suku baru yang berbeda-beda. Akhirnya terpecah menjadi bangsa-bangsa, dan itu akan memunculkan juga migrasi. Nah itu yang akan dibahas di album yang itu. Dan di album itu, Zoo akan aku pecah. Zoo akan menjadi beberapa kelompok musik yang merilis album secara bersamaan dengan album yang berbeda-beda. Anggota yang satu bikin album sendiri, yang satunya bikin album sendiri, mewakili perpecahan itu. Perbedaan pemahaman dalam satu kelompok, pecah. Zoo nanti pecah. Nggak apa-apa. Memang dari awal Zoo itu dirancang pecah.
Album selanjutnya, setelah tentang migrasi dan bangsa-bangsa, adalah tentang perang dan penjajahan. Itu akan kami eksplor lagi bagaimana suatu kaum mencoba mendominasi satu sama lain. Kemudian, di album terakhir—yang rencananya sih dirilis tahun 2026, tapi kayaknya molor jadi tahun 2027 mungkin—itu adalah Trilogi Kebudayaan. Di sini Zoo akan membicarakan soal sistem hukum suatu masyarakat, sistem ekonominya… kebudayaannya, lengkap. Nah, setelah itu akan kita umumkan, bahwa proyek ini selesai.
Syahrullah
Wah, Zoo bubar.
Rully Shabara
Nah, tapi juga sudah direncanakan, bahwa setelah bubar kita akan muncul lagi, unannounced, dengan album baru. Album barunya berisi musik yang straight-up punk seperti awal yang tidak ada basa-basi, tidak ada konsep segala macam. Tapi…temanya adalah iklim. Persis seperti sekarang. Bahwa semua itu nanti, yang kita bangun semua ini, nanti akan muncul secara tiba-tiba oleh bencana. Nah, detailnya bisa dibahas di tiap albumnya. Bagaimana misalnya konsep dalam memahami ideologi itu bermacam-macam. Banyak yang bisa dibahas. Misalnya: kenapa selalu lingkaran? Atau: kenapa album Khawagaka dibuat seperti maze? Itu tidak dibuat sembarangan. Jadi penuh dengan easter egg, apa ya namanya… Apa sih namanya kalau dalam video game, tuh?
Robby Ocktavian
Iya, easter egg. Terus, anggota Zoo yang lainnya…bagaimana peran mereka dalam proses pembuatan album ini?
Rully Shabara
Mereka fokusnya memang di divisi musik. Kalau konsepnya dari aku. Kalau musiknya dikerjakan bersama dengan mereka. Peran mereka sangat penting di musik itu. Kalau bukan karena anggota yang sekarang, musiknya juga tidak akan kayak sekarang. Tapi, secara jenis musik, Zoo selalu berubah, kan, mengikuti albumnya. Jadi kita tidak bisa tahu arah ke depannya akan seperti apa musiknya. Dan itu tidak penting, tidak masalah.
Syahrullah
Soal yang Zoo akan dipecah tadi itu di album tentang teknologi. Apakah nanti bisa sama atau sepemahaman dengan yang akan Mas Rully bikin?
Rully Shabara
Belum tahu. Aku belum sampai ke sana. Aku hanya membuat garis besar, milestones, dan visi-misi. Juga tahapan-tahapannya. Detail-detail seperti ini itu tidak bisa aku bikin. Makanya aku bikin sederhana. Nanti pelan-pelan akan berkembang seiring waktu, seiring kami berproses, seiring pemahamanku yang berkembang juga. Jadi nggak langsung tiba-tiba. Sekarang kita hanya mengetahui aksara. Dan bahasanya ini masih bahasa kitab, bukan bahasa sehari-hari. Sulit banget memakai bahasa ini untuk sehari-hari karena kita belum menemukan bahasa kasualnya. Belum sampai sana aku. Bahasa slang-nya juga belum ada. Ya tidak apa-apa. Berproses. Menurutku kalau membuat karya seperti ini itu tidak bisa langsung jadi. Harus ada tahapannya agar aku sendiri paham. Tapi nanti bisa dilihat, bahwa arsipnya banyak sekali. Artefaknya banyak sekali.
Robby Ocktavian
Orang-orang yang terlibat dalam workshop ini, apakah mereka juga ikutan atau aktif di skena?
Rully Shabara
Tidak juga. Macam-macam. Campur-campur. Tapi yang benar-benar paham biasanya gila. Ada yang bikin tato pakai aksara ini. Ada yang menamakan anaknya pakai aksara ini. Waktu itu Bupati Tulang Bawang Barat, Lampung, menelpon aku. Meminta aku datang ke sana. Kukira mau ngapain. Ternyata dia mau bikin kawasan wisata seni. Ia ingin membuat aksara Zugrafi ini menjadi aksen kawasan itu. Ya sudah kubikinkan saja lah. Di Bandung ada yang mau membangun kompleks rumah ibadah. Ada masjid dan sebagainya. Itu semua jadi kompleks gitu, dan nanti di gerbangnya ada aksara ini.
Robby Ocktavian
Kalau soal kamus online-nya itu bagaimana?
Rully Shabara
Jadi kalau dilihat di kamusnya, itu adalah algoritma. Misalnya kamu mengetik “ngehe”. Itu tidak ada. Nanti otomatis akan muncul, “Silakan submit kata ini agar muncul menjadi bahasa.” Nanti kalau sudah di-submit, dia akan masuk. Algoritma ini akan mengeluarkan kata baru secara otomatis. Jadi yang menciptakan kata tuh bukan aku. Aku hanya menciptakan algoritma. Jadi akan menjadi tidak terbatas. Kalau aku yang bikin, gila saja, menuliskan kamus puluhan ribu kata. Nggak mungkin. Dan nggak keren. Aku hanya menciptakan algoritma rumus bahasa. Itu sudah.
Syahrullah
Bikinnya berapa lama tuh, mas?
Rully Shabara
Secara intens itu setelah album Samasthamarta, setelah 2015. Sebelum itu sudah mulai dirancang sedikit-sedikit. Ya sekitar tiga tahunan.
Robby Ocktavian
Root bahasanya sendiri tuh dari mana?
Rully Shabara
Macam-macam. Aku hanya melihat dan membuat bentuk aksara yang harus terkesan primitif dan futuristik di waktu yang sama. Karena kalau kita membicarakan kitabnya, pemahamannya tentang waktu berbeda. Berulang kali ditekankan soal waktu di sini. Ini kenapa gambarnya banyak lingkaran. Waktu terjadi tidak linear di sini. Ia terjadi secara bersamaan, lingkaran ini kan modelnya. Dia tidak punya waktu lampau, karena aksaranya pun begitu. Tidak ada urutannya. Dia adanya…ya, dari mana saja kamu mau mulai. Dan ini aksaranya tidak ada “X”, “V”, dan “Q”. Tapi ada “Kh”, “Ng”, “Sh”, dan “Ny”. Itu ada aksaranya.
Robby Ocktavian
Tapi, ini alfabet atau abjad? Ada vokalnya?
Rully Shabara
Tidak ada. Jadi ini abjad. Vokal bukan dianggap sebagai huruf, tapi sebagai aksen. Begitu pun dalam penulisan. Dia tidak ada tulisan, hanya ada aksen.
Robby Ocktavian
Pernah bicara menggunakan ini?
Rully Shabara
Ya bisa, tapi kaku banget kan, karena bahasa kitab. Dia beda sekali dengan Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, atau yang lain. Mungkin ada yang sama, yaitu bentuk kata kerjanya. Tapi selebihnya tidak. Secara logika bahasa, dia tidak bergender. Manusia dan hewan adalah satu kelompok yang sama, yaitu penghuni bumi. Jadi ada dua imbuhan. Untuk makhluk hidup, di depannya ditambahkan “hl”, bacanya “al”. “Untuk menyebut selain itu, seperti alam, api, air, tanah, matahari, angin, bulan, harus menambahkan imbuhan “ar” di depannya. Kenapa? Inspirasinya itu dari bahasa-bahasa ngoko di Jawa gitu. Kalau kita bicara ke orang tua kan harus pakai bahasa yang sopan. Tujuannya supaya kita selalu bersikap sopan. Karena kalau bahasanya saja sudah sopan, tidak mungkin kita kurang ajar. Kalau itu diterapkan ke alam untuk menyebut tanah, kamu nggak bisa cuma menyebut “maha”. Nggak sopan kamu. Harus ada tambahan “ar” di depannya. Kalau kita ngomongnya saja sudah sopan, cara kita memperlakukannya pun akan sopan.
Robby Ocktavian
Seperti norma ya.
Rully Shabara
Nah, kenapa yang pertama bahasa? Bahasa menentukan logika kita berpikir. Logika kita berpikir menentukan perilaku kita. Perilaku kita itu sangat penting. Bahasa bisa mendikte perilaku orang. Menentukan orang jadi akan seperti apa, itu dari bahasa. Di sini tidak ada kata aku.
Robby Ocktavian
Jadi “orang pertama” di situ apa?
Rully Shabara
“Kami”, “kita”. Dalam mengatakan sesuatu, tidak bisa hanya soal diri dia sendiri. “Kami” dan “kita” itu kan berarti dia mewakili apa yang terdekat dengan dia, entah itu keluarganya, entah itu sukunya. Tergantung konteks yang dia bicarakan. Akhirnya, ke-aku-annya itu ya dihilangkan.
Robby Ocktavian
Lebih kolektif ya ini. Ini mas Rully bikin bahasa ya, bikin peradaban, hahaha…
Rully Shabara
Ya, tujuannya itu untuk orang bercermin. Karena aku nggak suka aktivisme yang terlalu kental. Aku lebih suka yang sifatnya jangka panjang, tapi menempel. Bagaimana kalau kita menciptakan cerminan yang masuk akal. Orang bisa paham sepaham-pahamnya dari mana semua terjadi, apa asalnya, bagaimana. Dan itu akan mengubah mindset seseorang secara langsung. Karena mengakar, akarnya, sumbernya itu semua adalah sifat kita sebagai manusia.
Robby Ocktavian
Sekarang kan Mas Rully mengkritisi apa yang terjadi sekarang. Tapi, kamu kan tidak menyampaikan secara langsung ke orang-orang, mas. Dan orang-orang juga butuh waktu untuk mencerna. Untuk sebuah aktivisme, delay penyampaian itu menurut kamu bagaimana?
Rully Shabara
Menurutmu ini…ini tidak bisa diterapkan secara urgent gitu ya, karena orang butuh waktu untuk paham, gitu?
Robby Ocktavian
Aku pribadi sih lebih suka cara-cara begini. Tapi kan ada beberapa aktivis yang, “Oh ini urgent, harus langsung. Harus direct.”
Rully Shabara
Ya itu kan ada mereka. Aku tentu saja mendukung. Tapi aku tidak bergerak di bidang itu. Akan konyol kalau aku tiba-tiba jadi seperti itu. Karena aku tidak di situ. Tapi aku punya hal yang lain yang aku kerjakan. Ya yang memang membuatku resah secara pribadi ini. Bahwa pembentukan alam bawah sadar kita terhadap apa yang terjadi ini panjang sekali prosesnya. Prosesnya dari ratusan tahun yang lalu kita mewarisi ilmu dan sejarah yang masih banyak sekali yang belum kita ketahui dan perdebatkan, tapi kita mengamini saja. Dan itu nyambung semua dengan karya-karyaku yang lain. Itu selalu aku jaga, bahwa dalam berkarya itu, aku bukan ingin punya banyak karya atau apa. Tapi bagaimana semua karya itu menunjang hal yang aku butuhkan sebagai seniman, untuk mengembangkan diriku.
Senyawa[6]Senyawa adalah sebuah proyek seni oleh Rully Shabara dan Wukir Suryadi. Senyawa fokus pada musik tradisional Indonesia sambil mengeksplorasi praktik musik eksperimental yang mendorong batas-batas … Continue reading, misalnya, fokusnya adalah pengolahan energi, pengolahan spiritual. Bagaimana musik bisa menjadi medium untuk masuk lebih dalam. Ini soal bagaimana mengolah bunyi, vokal, dan itu kaitannya dengan energi dan kesinambungan antara rekanku dan lingkungan. Pada Zoo, aku mengeksplor teks. Narasi, sejarah, segala macam mitologi yang seperti ini. Aku masih butuh satu lagi, yang sifatnya fisik.
Syahrullah
Setabuhan.[7]Setabuhan adalah sebuah proyek penciptaan ulang musik trance tribal yang disajikan dengan mengandalkan otot dan stamina sepasang pemain perkusi berat (Ramberto Agozalie and Caesarking), dengan suara … Continue reading)
Rully Shabara
Setabuhan. Yang riil, yang visceral. Mendalam. Ketiganya aku butuh. Di samping itu, aku juga butuh untuk menyebarkan apa yang aku tekuni. Aku ciptakanlah Raung Jagat[8]Raung Jagat adalah platform eksperimentasi suara/vokal., Gaung Jagat[9]Gaung Jagat adalah perpanjangan dari Raung Jagat, sebuah metode alternatif untuk melakukan musik improvisasi yang dapat diterapkan pada alat musik apa pun, tidak hanya vokal. Sistem dapat dipelajari … Continue reading). Segala macam itu untuk mencoba menciptakan metodologi supaya orang bisa…bukan meniru. Aku bukan ingin mengajar-ajarkan juga. Tapi lebih ke memberikan, mendeskripsikan metode supaya mereka bisa menemukan cara mereka sendiri. Raung Jagat kan adalah sebuah metode untuk orang bisa berimprovisasi. Bukan untuk orang yang pengin belajar vokal supaya kayak aku, bukan, tapi untuk bisa menemukan suaranya sendiri. Di situ aku nggak ngajarin nyanyi, aku cuma mengajarkan mereka untuk lebih percaya diri dan menemukan suara mereka sendiri. Dan itu yang jauh lebih penting. Model sistem kerjaku dalam berkesenian seperti itu. Makanya orang suka bilang, “Rully proyeknya banyak banget sih.” Itu karena aku butuhkan. Aku butuhkan proyek yang terpisah agar fokus.
Aku juga butuh pihak lain yang benar-benar membahas dengan pendekatan bukan musik. Musik ya menjadi salah satu elemen dalam proyek. Aku melihat ini sebagai suatu proyek besar dan panjang, dan semakin kolaboratif. Aku terbuka kalau misalnya ada yang bilang ke aku, “Mas, aku mau bikinkan senjatanya, dong.” Ya silakan. Kalau balik lagi ke album Zoo yang akan datang itu, itu kan soal peperangan. Aku akan libatkan orang untuk membuat artefak asli yang melambangkan teknologinya. Nanti dipamerkan pada akhirnya. Pameran artefak. Tapi semua harus berdasar pada Khawagaka ini. Aku juga harusnya bikin cerita rakyatnya. Melibatkan orang, sih. Karena kalau aku sendiri ya mampus. Mau bikin cerita rakyatnya. Kalau di Islam itu kisah 25 Nabi.
Robby Ocktavian
Ini sebagai kitab, apakah benar-benar akan jadi landasan untuk ke depannya?
Rully Shabara
Iya, landasan proyek ini. Karena ada di sini semuanya. Ada enam ajaran. Penciptaan, keyakinan, perintah. Soal pernikahan juga ada.
Syahrullah
Dulu awal-awal Zoo dibuat, tujuannya memang untuk itu?
Rully Shabara
Belum. Tadinya hanya mau bikin tema… aku hanya resah soal peradaban kita.
Robby Ocktavian
Kenapa tetap pakai nama Zoo, mas? Kenapa waktu itu tidak pakai proyek lain? Apa karena kebun binatang itu sudah cukup menggambarkan kondisi ekosistem?
Rully Shabara
Iya itu juga satu. Dan namanya juga “Zoo”, gitu. Tapi memang konsepnya adalah kebun binatang. Kita semua hidup dalam sistem yang kita pikir bahwa itu adalah habitat kita, dan kita merasa nyaman. Padahal itu adalah sistem. Sistem yang dirancang. Kita aman kalau kita mengikuti sistem itu, kalau kita tidak keluar kandang. Kalau kita dikasih makan, ya kita makan. Kalau kita disuruh atraksi, ya atraksi. Begitu kan? Kebun binatang kan begitu. Binatangnya ya nyaman saja, karena mereka pikir dunia ini ya begini saja seperti kelihatannya. Padahal ternyata itu bukan yang sesungguhnya. Kita hanya mengikuti sistem.
Robby Ocktavian
Realitasnya dibentuk.
Rully Shabara
Iya, dibentuk. Nah aku juga lagi bikin, tuh, cerita tentang penciptaannya. Dahulu kala, sebelum terciptanya aksara, hiduplah sebuah kaum atau suku, gitu. Mereka hidup di goa. Terpisah oleh sungai dan hutan terlarang. Hutan terlarang ini adalah tempat mereka mengasingkan orang-orang yang dibuang. Atau tempat semua setan berada. Jin. Yang ditakuti. Nah di kampung ini, ada kegiatan berburu yang harus dilakukan oleh laki-laki. Nah, ada seorang anak perempuan remaja. Dia bisu. Dia adalah anak kepala suku. Dia suka menulis dan menggambar di batu. Dia itu punya teman laki-laki. Masih remaja, seumuran dengan si anak perempuan ini. Tapi dia kurus, kecil. Jadi dia sering di-bully karena tidak bisa ikut berburu. Karena tidak bisa ikut berburu, ia suka menemani si bisu. Mereka temenan banget pokoknya. Dia selalu melindungi si anak perempuan ini.
Suatu hari, mereka ingin menggambar di pinggir sungai. Ayahnya bilang, “Ini mau hujan, kalian jangan ke sana.” Tapi akhirnya bapaknya ikut menemani, karena lokasi tersebut terletak di dekat hutan terlarang. “Jangan sampai masuk ke sana ya,” kata bapaknya.
Beberapa saat kemudian setelah hujan reda, pulang lah mereka ke rumah. Tapi teman cowoknya itu tidak ada. Ditanya oleh warga kampung, “Di mana dia?” lalu bapaknya menjawab, “Itu, dia hanyut di sungai. Saya sempat meleng sebentar, tidak tahunya mereka berdua telah pergi. Anakku ini bisu, jadi tidak bisa minta tolong waktu temannya hanyut di sungai.” Si bapak menyalahkan anaknya. Nah, selang beberapa lama, anak perempuan ini hamil. “Wah, kamu pasti pernah macem-macem sama temanmu yang meninggal itu, kan?” tuduh bapaknya. Dibuanglah dia di hutan terlarang. Dia hidup di sana dan melahirkan anaknya di sana.
Puluhan tahun kemudian, desa ini terserang…apa lah gitu, sehingga habis mereka. Mau tidak mau, mereka harus mengungsi ke hutan terlarang. Warga desa bertemu dengan seorang anak di hutan itu. Ia keluar-masuk kampung sebelah, pergi ke mana-mana. Dan dia fasih berbicara segala macam. Lalu, suatu hari dia menjelaskan sebuah tulisan ke warga desa. Sebuah aksara. Dia menceritakan, “Ibu saya mengajarkan saya aksara ini, dan saya belajar bahasa ini sendiri. Saya bisa menjelaskan ini apa. Ini ibu saya bilang, bahwa saya harus menyampaikan ini ke kampung ibu saya. Menjelaskan, bahwa saya ini adalah anak dari anak yang diperkosa oleh ayahnya sendiri.
Paham, tidak? Jadi sebegitu penting aksara. Cewek ini tidak punya kemampuan untuk menjelaskan versinya, gitu loh. Jadi ini aksaranya.
Aku sih penginnya nanti ada juga karya sastranya. Dari sastra itu muncul tokoh-tokoh, kayak tentang penebangan beringin itu. Itu bisa jadi satu cerita yang berbeda. Di balik itu pasti ada politik, kan? Wah, menarik itu.
Robby Ocktavian
Bakal setebal Rumah Kaca [Tetralogi Pulau Buru —Peny.], ini.
Rully Shabara
Kenapa enggak? Haha.. Ya, nggak, sih? Tapi kan ini harus melibatkan orang banyak, dan aku nggak ngapa-ngapain. Dan kalau gitu, kita akan melihat bahwa musik menjadi tidak sepenting itu kan? Musik itu hanya medium untuk kita belajar hal lain. Begitu pun karya seni yang lain. Tapi, begitu semua saling berkesinambungan, karya itu akan menciptakan sebuah narasi yang utuh. Harus ada sastranya, harus ada filosofinya, harus ada sejarahnya, harus ada arsitekturnya, harus ada grafisnya. Lengkap, gitu.
References
↑1 | Aksara ini bernama Zugrafi. Aksara ini khusus dibuat oleh Rully Shabara untuk memproduksi album “Prasasti”. Sedangkan bahasanya disebut dengan Bahasa Zufrasi |
↑2 | Kamus proyek ini dapat diakses secara daring di https://www.khawagaka.id/#kamus |
↑3 | Jembatan Adam, disebut juga Jembatan Sithubanda atau Rama Setu yang berarti “Jembatan Rama”, adalah rantai batu kapur antara pulau Mannar, di dekat Sri Lanka barat laut dan Rameswaram, di pantai tenggara India |
↑4 | Video dapat dilihat di: https://www.youtube.com/watch?v=3YFSDhsDdc8 |
↑5 | Khawagaka sendiri dirilis pada 1 Januari 2019, pukul 00.00 waktu Kepulauan Line, Republik Kiribati (UTC+14), saat semua tempat di Bumi selain zona tersebut masih berada di tahun 2018. Penentuan ini merujuk pada visi dan milestone Peradaban Samasthamarta, sebuah konsep proyek seni jangka panjang dari Zoo. (Sumber: http://yesnowave.com/releases/yesno092/) |
↑6 | Senyawa adalah sebuah proyek seni oleh Rully Shabara dan Wukir Suryadi. Senyawa fokus pada musik tradisional Indonesia sambil mengeksplorasi praktik musik eksperimental yang mendorong batas-batas kedua tradisi tersebut. |
↑7 | Setabuhan adalah sebuah proyek penciptaan ulang musik trance tribal yang disajikan dengan mengandalkan otot dan stamina sepasang pemain perkusi berat (Ramberto Agozalie and Caesarking), dengan suara (Rully Shabara) sebagai satu-satunya instrumen lain. (Sumber: http://yesnowave.com/artists/setabuhan/ |
↑8 | Raung Jagat adalah platform eksperimentasi suara/vokal. |
↑9 | Gaung Jagat adalah perpanjangan dari Raung Jagat, sebuah metode alternatif untuk melakukan musik improvisasi yang dapat diterapkan pada alat musik apa pun, tidak hanya vokal. Sistem dapat dipelajari selama lokakarya singkat dan tidak memerlukan kemampuan membaca partitur musik konvensional. (Sumber: https://www.rullyshabara.id/gaung-jagat |