Pengantar Redaksi
Di ranah studi akan bunyi, pembacaan terhadap berbagai jenis bunyi telah sangat berkembang. Pembacaan tentang bunyi sudah tidak hanya sebatas pada perbincangan tentang definisi musik yang konvensional, namun lebih kepada eksperimentasi bunyi dan performativitasnya di era mesin dan digital ini. Tentu saja, masih sangat relevan bagi kita sekarang untuk membicarakan komposisi musik yang konvensional sebagai dasar pengetahuan dari alam raya pengetahuan akan bunyi. Apalagi kemudian pembahasan itu juga dihadirkan bersama dengan kajian-kajian lintas disiplin yang melingkupi praktik pemaknaan bunyi yang ada di masyarakat. Hal ini diharapkan dapat memperluas perbincangan yang bisa melibatkan pembacaan akan bunyi dari bidang ilmu lainnya. Dalam artikel yang diterbitkan Muarasuara kali ini, kami menghadirkan tulisan tentang musik dan psikologi. Ketermuatan tema dalam tulisan ini juga berrelasi dengan usaha untuk memperluas publik pembaca Muarasuara.

Saya menekuni bidang yang mungkin terdengar asing di masyarakat, yaitu psikologi musik. Saya hampir selalu menggunakan template yang sama untuk menjawab pertanyaan orang tentang psikologi musik: ilmu yang mempelajari bagaimana musik memengaruhi psikologis manusia, baik afektif, kognitif, maupun tingkah laku manusia. Jika membaca di buku, biasanya ahli mendefinisikan sesuatu dengan memecah istilah tertentu menjadi kata per kata, tetapi saya sadari hal tersebut hampir tidak pernah saya lakukan untuk menjelaskan psikologi musik. Terkait bidang saya, ‘psikologi’ adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Lalu musik, apa yang dimaksud dengan musik? Ternyata tidak semudah itu mendefinisikan musik karena musik bisa dipandang dari banyak perspektif. Ketika saya mempelajari musik, secara tidak langsung saya juga belajar untuk memahami perbedaan musik dengan bunyi, suara, dan kebisingan. Nyatanya apapun yang diproses di gendang telinga kita juga bisa saja memengaruhi psikologis manusia, tidak hanya musik. Ini yang ingin saya diskusikan dalam tulisan saya, bahwa apapun yang kita dengar sehari-hari ternyata dapat memengaruhi kita.
Jika dicari di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka akan ditemukan berbagai definisi dan perbedaan dari bunyi, suara, bising, dan musik. Bunyi merupakan sesuatu yang terdengar oleh telinga, sehingga bisa dibilang apapun yang kita tangkap melalui telinga kita adalah bunyi. Lalu ada suara yang didefinisikan sebagai bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia, binatang, alat perkakas, dan sebagainya. KBBI juga mendefinisikan suara sebagai bunyi bahasa. Berarti ketika membahas tentang suara, sudah ada makna didalamnya. Mendengar manusia berbicara, kita bisa memahami kata-kata yang dikeluarkan. Mendengarkan suara berkicau, kita bisa memahami bahwa kicauan itu berasal dari burung. Kemudian ada bising yang didefinisikan sebagai ramai hingga menyebabkan telinga pekak. Mengingat kebisingan dapat memekakkan telinga, sehingga beberapa orang mungkin tidak mengharapkan bunyi tersebut hadir karena menimbulkan efek yang tidak menyenangkan. Dalam kehidupan sehari-hari, suara sirene ambulans ketika sedang naik kendaraan umum atau panci jatuh di dapur ketika sedang istirahat di kamar adalah bentuk kebisingan karena dapat menimbulkan efek tidak menyenangkan, seperti jantung berbedar karena kaget mendengar suara bising tersebut.
Masuklah dalam definisi musik dalam KBBI, di mana salah satu definisinya adalah “nada atau suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan (terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyi itu)”. Bila dibaca, istilah suara atau bunyi dipakai dalam definisi musik. Bila bunyi-bunyi dari alat yang digunakan menghasilkan suatu suara tertentu dan diatur sedemikian rupa, maka hasilnya adalah musik. Harus ada yang mengatur suara-suara tersebut agar tepat tinggi atau rendahnya nada dan dimainkan pada waktu yang tepat juga agar suara tersebut bisa didefinisikan sebagai musik. Jika tidak ada yang mengatur suara-suara tersebut, maka suara akan berpotensi menjadi kebisingan karena dapat memekakkan telinga. Di sisi lain, kebisingan tersebut jika diatur sedemikian rupa bisa menciptakan sebuah musik sesuai dengan definisi yang telah disampaikan sebelumnya. Oleh karena itu kebisingan yang dibiarkan begitu saja dan tidak diatur sama sekali perlu diakui sebagai sebuah kebisingan.
Jika direfleksikan kembali bunyi-bunyi yang didengar sehari-hari, begitu mudah suatu bunyi berubah makna menjadi istilah lainnya dan bagaimana perbedaan persepsi terhadap bunyi tersebut dapat mengubah perilau kita. Ketika saya memainkan musik di laptop saya berjudul Eine Kleine Natchmusik karya Wolfgang Amadeus Mozart yang dimainkan oleh kuartet pemain musik gesek di bilik kerja saya, teman saya di bilik yang lain mungkin akan sayup-sayup mendengar musik tersebut dan bertanya “suara apa itu?”. Dia menanyakan ‘suara’ karena tidak yakin apakah suara tersebut teratur atau tidak sehingga dapat dikatakan sebagai musik. Pertanyaan itu mungkin akan menimbulkan rasa penasaran yang membuat teman saya melakukan dua hal: Mengabaikannya atau mencari sumber suaranya. Ketika mulai mendekati bilik saya, teman saya baru akan memahami bahwa suara yang didengarkan adalah musik. Jika volume suara musik yang saya mainkan terlalu keras dan mengganggu teman saya, maka musik tersebut bergeser dari musik yang enak didengar di telinga menjadi kebisingan. Jika teman saya merasa bising, maka dia akan sulit berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Tetapi jika musik didengarkan dengan volume yang tepat, maka musik bisa menjadi teman bekerja yang baik. Satu musik yang sama ternyata dapat dipersepsikan berbeda-beda dan salah satu hasil penelitian telah menunjukkan bahwa musik bervolume keras dengan tempo cepat dapat mengganggu seseorang khususnya dalam memahami bacaan.
Kembali ke definisi awal dari psikologi musik bahwa musik dapat memengaruhi psikologis manusia, menurut saya bunyi maupun suara apapun yang didengarkan sehari-hari bisa saja memengaruhi afektif, kognitif, maupun tingkah laku. Contohnya, beberapa orang memiliki kebiasaan untuk membiarkan televisi menyala sambil mengerjakan hal yang lain. Sebuah penelitian pada tahun 1983 mengonfirmasi bahwa siswa sekolah dasar pada masa itu suka untuk belajar ditemani oleh televisi khususnya jika mendapatkan tugas menulis dan mengerjakan matematika (Patton, Stinard, & Routh, 1983). Penelitian lain yang dilakukan di Polandia menjabarkan bahwa perkantoran di sana biasa mendengarkan radio di tempat kerja, lalu timbul perdebatan apakah suara radio tersebut membantu atau mengganggu pekerjanya dalam berkonsentrasi (Stachyra, 2015). Apalagi biasanya siaran radio berisi beraneka ragam bentuk, mulai dari orang yang bermonolog membacakan berita, berdialog membahas topik terkini, memutarkan musik, termasuk berinteraksi dengan pendengarnya. Dari contoh tersebut, banyak bunyi dan suara yang menemani kita berusaha berkonsentrasi melakukan sesuatu. Saat Anda membaca tulisan ini, saya yakin terdapat suara-suara di sekeliling Anda yang mungkin Anda abaikan agar Anda dapat fokus membaca tulisan ini.
Bunyi dan suara ini tidak hanya dapat memengaruhi konsentrasi seseorang, tetapi juga emosi seseorang. Ketika berada di rumah sendirian dan terdengar bunyi gaduh dari dalam rumah, seseorang akan merasa takut dan meningkatkan kewaspadaannya karena khawatir ada sesuatu yang berbahaya di dalam rumah. Ketika seseorang menonton film, terdapat latar belakang musik untuk meningkatkan emosi yang dirasakan dari adegan yang sedang ditayangkan. Ketika sedang makan bersama di sebuah restoran dan Anda tidak sengaja menjatuhkan gelas lalu pecah, suara pecahan gelas itu mungkin akan membuat seisi restoran melihat ke arah Anda dan membuat Anda menjadi canggung atau malu. Banyak contoh yang dapat diberikan bagaimana suara yang didengarkan dalam kehidupan sehari-hari ternyata secara sadar atau tidak sadar memengaruhi bagaimana kita berpikir, merasakan sesuatu, dan melakukan suatu tindakan tertentu.
Tidak hanya bunyi dan suara, keheningan juga bisa saja memengaruhi seseorang. Misalnya ketika menunggu seorang anggota keluarga dioperasi di sebuah lorong sunyi dalam rumah sakit, mungkin hal tersebut akan membuat si penunggu bosan atau cemas apakah operasi akan berhasil atau tidak. Tetapi banyak orang mendebatkan banyak tidak ada yang namanya suasana benar-benar hening atau sunyi. Terdapat sebuah ruangan bernama anechoic chamber yang bisa menyerap semua gelombang suara dan membuatnya tidak memantulkan suara sama sekali, sehingga ketika berada di dalamnya maka seseorang akan berada dalam suasana yang sangat sunyi. Ternyata dalam ruangan yang benar-benar kedap suara pun masih akan terdengar suara yang berasa dari tubuh sendiri. Suara detak jantung, darah yang mengalir, suara dari saraf-saraf yang mengirimkan impuls ke otak, suara berdenging di telinga, semua bisa terdengar di dalam anechoic chamber. Konon katanya seseorang tidak bisa bertahan lebih dari 45 menit di dalam anechoic chamber karena kesunyian murni tersebut dapat membuat seseorang stres dan panik.
Diskusi panjang mengenai bagaimana dampak bunyi-bunyian di kehidupan sehari-hari masih akan terus berlanjut. Apapun yang didengar dapat memengaruhi cara manusia berpikir, perasaannya, maupun tindak tanduknya. Perlu dicatat bahwa hidup ini dipenuhi dengan suara-suara yang disadari maupun tidak disadari. Bagaimana kita memaknai suara tersebut adalah hal yang secara sadar memengaruhi tingkah laku kita sehari-hari. Saat ini Anda dapat juga duduk dengan tenang sambil memejamkan mata Anda dan berfokus meningkatkan sensitivitas pada telinga Anda. Bunyi apapun yang masuk ke dalam telinga Anda akan diproses di dalam otak Anda dan rasakan apa yang tubuh Anda rasakan saat mendengarnya serta apa yang terpikirkan dalam pikiran Anda dengan segala bunyi-bunyian tersebut.
Referensi:
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2016). KBBI Daring. Diakses melalui https://kbbi.kemdikbud.go.id/ pada tanggal 26 Mei 2020.
Patton, J. E., Stinard, T. A., & Routh, D. K. (1983). Where do children study? Journal of Educational Research, 76, 260-286.
Stachyra, G. (2015). Radio in the workplace: a liminal medium between work and leisure. Media, Culture & Society, 37(2), 270–287. https://doi.org/10.1177/0163443714557984
Thompson, W. F., Schellenberg, E. G., & Letnic, A. K. (2012). Fast and loud background music disrupts reading comprehension. Psychology of Music, 40(6), 700–708. https://doi.org/10.1177/0305735611400173
Christ Billy Aryanto

Seorang dosen di Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya lulusan magister psikologi pendidikan di Universitas Indonesia dan master in psychology of music di University of Sheffield. Billy adalah penerima Beasiswa Unggulan Dosen Indonesia dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (BUDI LPDP) untuk melanjutkan studi doktoral di University of Sheffield untuk risetnya di bidang cognitive neuroscience. Selain aktif dalam menekuni bidang riset psikologi musik, psikologi kognitif, dan psikologi positif, Billy juga aktif bermain piano dan flute serta pernah tergabung dalam Orkes Simfoni Universitas Indonesia Mahawaditra, Trinity Youth Symhony Orcehstra, Celeste Chamber Orchestra, University of Sheffield Medics Orchestra, dan Sheffield University Flute Choir. Sampai saat ini Billy masih aktif menjadi pengurus musik gereja dan pemusik di GKI Raya Hankam serta flutist di Orkes Komunitas Concordia dan JakFlute Community Ensemble.
–