
Saat ini penggunaan komputer di dalam dunia musik sudah tidak asing lagi bagi kebanyakan orang. Namun penggunaan komputer sebagai alat bantu di dunia musik ini masih sebatas diketahui masyarakat sebagai alat bantu rekam, pembuatan musik latar dengan bantuan DAW, hingga produksi electronic dance music. Penggunaan-penggunaan komputer oleh musisi seperti yang penulis sebutkan tadi memang sudah menjadi sesuatu yang biasa di era digital seperti sekarang. Namun pernahkah kita berpikir bahwa penggunaan komputer di dalam dunia musik juga digunakan untuk hal lain? Misalnya analisa musik dengan metode komputasi?.
Pengunaan komputer sebagai alat bantu di dalam dunia musik bukanlah sesuatu hal yang baru. Bahkan sebelum karya seperti Illiac Suite dari Lejaren Hiller yang dibuat pada tahun 1957 dengan bantuan komputer hadir, cikal bakal otomatisasi bunyi sudah hadir jauh sebelumnya seperti La Joueuse de tympanon yang dibuat oleh Peter Kinzing dan David Roentgen pada tahun 1780an. Selain kegunaanya untuk memproduksi bunyi, otomatisasi mesin yang berevolusi terus menerus hingga kehadiran komputer saat ini juga menjadi hal yang lumrah digunakan di ranah musikologi atapun etnomusikologi sebagai alat bantu analisa.
Melanjutkan tentang perkembangan komputer sebagai asisten untuk membuat otomatisasi bunyi hingga komposisi musik, perkembangan ini telah ditandai dengan lahirnya beberapa perangkat lunak yang sering digunakan oleh komponis untuk membuat musik seperti MUSIC. MUSIC merupakan sebuah program yang ditulis oleh Max Mathews pada tahun 1957 di Bell Labs. MUSIC adalah program komputer pertama yang menghasilkan bentuk gelombang audio digital melalui sintesis langsung. Aplikasi penggunaan MUSIC ini sendiri dilakukan oleh Max Matthew dan Joan Miller untuk membuat sintesis bunyi lagu Daisy Bell dengan menggunakan MUSIC IV. Selain MUSIC, terdapat beberapa program lain guna keperluan sintesis bunyi dan produksi musik komputer/elektronik seperti OpenMusic, C Sound, Max Msp, Supercollider dan lain sebagainya.
Dalam perkembangannya perangkat-perangkat lunak tersebut banyak digunakan oleh komponis untuk merealisasikan, merancang dan membuat bunyi yang mereka inginkan. Pada perkembangan terkini, perangkat-perangkat lunak tersebut banyak dikombinasikan dengan perangkat keras seperti nitendo wii, leap motion, EEG headset dan lain sebagainya guna keperluan karya. Bahkan perangkat-perangkat lunak tersebut dikombinasikan dengan perangkat lunak lain yang basisnya bukan untuk bunyi seperti unity. Unity adalah sebuah perangkat lunak untuk membuat game dan dapat diintegrasikan ke Max Msp untuk membuat musik yang dikendalikan oleh game[1] dan dioperasikan oleh komputer.
Masih berhubungan dengan komputer, terdapat sebuah model lain yang melibatkan komputer dan jaringan internet, yaitu seni internet. Seni internet atau biasa disebut Net.Art adalah gerakan yang lahir pada tahun 1990an yang memanfaatkan teknologi komunikasi seperti internet sebagai medianya. Sejarah penggunaan teknologi komunikasi dalam seni ini sendiri iasa dibagi menjadi tiga fase: Pra Era Internet, Era Internet dan Pasca Era Internet. Di fase pra internet seniman menggunakan teknologi telekomunikasi sebelum internet seperti satelit seperti di karya Hole in The Space oleh Kit Galloway dan Sherrie Rabinowitz. Di era internet seniman menggunakan internet sebagai media kekaryaannya dan tidak menuju panggung fisik seperti di karya “If you want me to clean your screen, scroll up and down“[2]. Di fase pasca internet, seniman mulai meninggalkan batasan internet dan menjadi objek (dimainkan di panggung) namun ide maupun prosesnya berhubungan dengan internet.
Musik sebagai bagian dari seni internet sendiri baru berkembang di era pasca internet, dikarenakan perkembangan teknologi di fase awal seni internet belum memungkinkan untuk media musik diaplikasikan. Salah dua karya musik yang memanfaatkan jaringan internet sebagai medianya adalah karya dari Alexader Schubert “wiki-piano.net” dan Barbara Lüneburg dengan project partisipatorisnya Slice of Life yang “dikoordinir” melalui https://what-ifblog.net/. Menurut Brigitta Muntendorf, kecendrungan karya musik yang melibatkan media sosial, platform digital dan internet terbagi menjadi dua model. Pertama, media sosial digunakan sebagai material tapi proses karya di luar platform digital tersebut[3]. Kita bisa melihat hal ini di karya Jennifer Walshe yang berjudul Facebook Chorus dimana para musisi menyanyikan teks dari kiriman oran-orang yang muncul di beranda mereka. Model kedua yaitu dimana proses komposisinya langsung di platform digital atau media sosial dan dialog di dalamnya menjadi bagian dari karya[4]. Model seperti ini dapat kita temukan di karya “Slice of Life” oleh Barbara Lüneburg yang mana ia dan timnya membangun sebuah blog (https://what-ifblog.net/ ) dan melalui blog tersebut, para partisipan berkomunikasi dan berkontribusi untuk material karya. Selain karya dari proyek Barbara Lüneburg, ada juga karya-karya lain di model kedua ini seperti dari Alexander Schubert “Wikipiano” dan karya dari Aaron Koblin “Bicycle for 2000”.
Selain penggunaan komputer dan “asesorisnya” seperti jaringan internet untuk pembuatan karya seni khususnya musik, terdapat pula kegunaan lain dari komputer untuk keperluan musik, yaitu analisa musik. Penggunaan metode komputasi untuk analisa musik ini hadir dari ranah musikologi dan etnomusikologi. Salah satu tokoh yang juga memakai teknologi komputasi untuk menganalisa musik adalah Nicholas Cook. Nicholas Cook bersama rekannya seperti Craig Saap dan Andrew Earis mengembangkan sebuah program Mazurka Project[5] yang dapat diintegrasikan dengan Sonic Visualiser. Project ini merupakan penerapan metode komputasi untuk menganalisis kumpulan besar rekaman mazurka Chopin, yang berasal dari tahun 1912 hingga hari ini.
Berhubungan dengan teknologi komputasi untuk keperluan analisa musik ini mengingatkan penulis kepada sebuah ingatan sekitar dua tahun lalu dimana penulis pernah membaca sebuah buku tentang filsafat teknologi. Di dalam buku itu dijelaskan tentang gagasan hubungan manusia dengan teknologi. Salah satu penjelasan yang menarik adalah tentang hubungan hermeneutik antara manusia dan teknologi. Hubungan hermeneutik, sebagaimana Don Ihde menyebutnya, adalah hubungan di mana manusia membaca bagaimana teknologi mewakili dunia, seperti pemindaian MRI yang mewakili aktivitas otak, atau bunyi bip dari detektor logam yang mewakili keberadaan logam[6].
Saat ini di dalam dunia musik, kita juga mengenal kegunaan perangkat lunak seperti Sonic Visualiser[7] untuk menganalisa musik. Sonic Visualiser adalah perangkat lunak yang dikembangkan di Centre for Digital Music at Queen Mary, University of London dan dirancang untuk mempelajari rekaman audio secara lebih dekat. Perangkat ini dirancang untuk musikolog, arsiparis, peneliti signal processing dan lain sebagainya yang ingin melihat data rekaman audio lebih dalam. Perangkat lunak seperti Sonic Visualiser memungkinkan kita membaca dunia bunyi dengan lebih rinci seperti menganalisa rekaman dan divisualisasikan untuk membaca bunyi seperti rinci spektrum bunyi, kurva perubahan tempo[8] dan lain-lain.
Selain relasi hermeneutis dalam bentuk visual gambar, kita bisa menemukan model lain seperti bentuk visual data tertulis dari hasil analisa musik melalui bantuan perangkat lunak seperti music21[9]. Pengembangan music21 ini didukung oleh the School of Humanities, Arts, and Social Sciences di Massachusetts Institute of Technology, the Music and Theater Arts, dan mendapat hibah dari the Seaver Institute and the NEH/Digging-Into-Data Challenge. Music21 adalah perangkat lunak dengan bahasa pemrograman python yang membantu para sarjana, peneliti, dan para musikus untuk menjawab pertanyaan mereka seputar analisa musik.
Dengan bantuan music21 ini kita dapat menganalisa musik secara cepat dalam jumlah data yang besar. Sebagai contoh adalah mencari kecendrungan penggunaan interval di sebuah gaya musik tertentu dari berbagai sampel data yang tersedia. Sedikit berbeda dengan Sonic Visualiser, music21 memungkinkan kita untuk menganalisa musik dengan data notasi dalam format xml. Dengan input data notasi tersebut kita bisa melakukan banyak hal seperti mencari seberapa besar persentase kemunculan nada tertentu dalam sebuah karya yang terdiri dari lima puluh ribu birama. Dengan metode analisa biasa tentu hal ini akan menjadi merepotkan dan memakan waktu untuk menghitung banyaknya nada yang muncul pada sebuah partitur dengan jumlah birama sebanyak lima puluh ribu birama dan mencari nada yang mendominasi. Dengan bantuan music21 kita bisa melakukannya dengan cepat dan akurat[10].
Komputer yang merupakan salah satu penemuan besar manusia telah membantu banyak kehidupan manusia dan juga membuka kemungkinan-kemungkinan baru. Penggunaan komputer bukan hanya bermanfaat di bidang ekonomi, kesehatan, militer dan lain sebagainya, namun juga bermanfaat dan dapat berkolaborasi dengan kesenian secara kuat. Penggunaan komputer dalam dunia seni khususnya musik pun menjadi sebuah “bukti“ bahwa kesenian memang selalu merespon perkembangan teknologi pada eranya. Dan pada akhirnya kesenian pun dapat menjadi sebuah media untuk membaca pencapaian sebuah masyarakat, seperti penggunaan komputer dalam dunia musik yang menjadi refleksi atas salah satu pencapaian dunia Barat.
Yogyakarta, 04 Juli 2020
teks ini pertama kali terbit pada laman facebook pribadi penulis
dengan beberapa tambahan untuk muarasuara.id
[1] https://www.youtube.com/watch?v=6pHQjIYUUOw
[2] http://www.entropy8zuper.org/possession/olialia/olialia.htm
[3] Muntendorf, Brigitta. Social Composing. In LINKs series 3-4 Musique – Espace habité. Paris. November 2019. Hal. 56.
[4] IMuntendorf, Brigitta. Social Composing. In LINKs series 3-4 Musique – Espace habité. Paris. November 2019. Hal. 57.
[5] http://mazurka.org.uk/info/discography/
[6] https://www.futurelearn.com/courses/philosophy-of-technology/0/steps/26324#:~:text=Hermeneutic%20relations%2C%20as%20Ihde%20calls,represents%20the%20presence%20of%20metal.
[7] https://www.sonicvisualiser.org/
[8] https://www.youtube.com/watch?v=BW9PXlLGoXM
[9] http://web.mit.edu/music21/
[10] Contoh penggunaan music21 sebagai alat bantu analisa: https://www.youtube.com/watch?v=zhYJBXUdn00
Berikut adalah rekaman presentasi penulis dan diskusi yang diselanggarakan secra daring
oleh Forum Komponis Sumtera Barat
pada 14 juli 2020 pukul 20.00 – 22.00 WIB.
Melalui Platform Zoom Meeting
Septian Dwi Cahyo

Komponis lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta (ISI), sebuah universitas anggota ASEA-UNINET sejak 2017. Ia adalah mahasiswa Indonesia pertama yang mengambil magang musik di Austria dalam bingkai ASEA-UNINET, di Universitas Musik dan Seni Pertunjukan Graz (KUG) di Austria.