MUARASUARA – Festival Seni Bunyi dan Pertunjukan diinisiasi oleh Forum Lenteng pada tahun 2019. Untuk pertama kalinya festival diselenggarakan pada tanggal 27 dan 28 September 2019 di Gedung Rinjani, Taman Budaya Samarinda, Kalimantan Timur. Festival yang berlangsung selama dua hari ini diikuti oleh sebelas seniman performans dan seniman bunyi yang berasal dari lima negara.
Pada tanggal 27 September 2019, Robby Ocktavian selaku direktur festival membuka pergelaran festival dengan menjelaskan secara singkat tentang profil MUARASUARA kepada penonton yang telah hadir. Robby menjelaskan bahwa selain sebagai upaya pemetaan kancah seni di Samarinda dan Kalimantan, MUARASUARA juga berupaya untuk membaca bagaimana praktik dan eksperimen para pelaku bebunyian di Indonesia dan negara lainnya yang terjaring melalui festival ini.
Pada hari pertama festival, MUARASUARA menampilkan Naoto Yamagishi (Jepang), Jeritan (Samarinda,Indonesia), RxV (Samarinda,Indonesia) & Dewa Gugat (Padang Panjang, Indonesia) dan Lintang Radittya (Yogyakarta,Indonesia). Hari kedua festival dibuka dengan program Artist Talk. MUARASUARA mengundang Lintang Radittya (Yogyakarta,Indonesia), Jonas Engel (Denmark), Prashasti Wilujeng Putri, mewakili 69 Performance Club (Jakarta, Indonesia), serta Syahrullah “Ule” dari tim MUARASUARA sebagai pembicara. Artist Talk yang berlangsung pada siang hari itu hadiri oleh para pelajar, mahasiswa serta para pelaku seni di Samarinda dengan Asril Gunawan (Kaprodi Etnomusikologi FIB Universitas Mulawarman) sebagai moderatornya.
Dalam Artist Talk, pelaku seni yang hadir sebagai pembicara maupun hadiri saling berbagi bagaimana proses dan praktik berkarya mereka, eksperimen yang dilakukannya, serta temuan-temuan dalam aktivitas mereka dalam mengeksplorasi bunyi. Pertanyaan tentang performans dan performativitas dalam berkesenian juga menjadi salah satu topik yang terbahas setelah Prashasti mempresentasikan 69 Performance Club sebagai platform studi seni performans yang digagas oleh Forum Lenteng. Pada malam harinya, festival dilanjutkan dengan menampilkan Sarana (Samarinda,Indonesia) & Mahamboro (Yogyakarta,Indonesia), kemudian dilanjutkan oleh Jonas Engel (Denmark), Kok Siew Wai (Malaysia) & Theo Nugraha (Samarinda,Indonesia), dan ditutup oleh 69 Performance Club (Indonesia).
Gelombang pergerakan musik dan bunyi eksperimental di Samarinda tercatat sudah dimulai sejak tahun 2013. Beberapa pelaku seni yang aktif sejak saat itu di antaranya adalah Sarana, Jeritan, Astrojo, Jeliwan Tok Hudoq, Theo Nugraha, dan Rxv. Pada tahun 2017, para pelaku seni bebunyian di Samarinda menggelar Samarinda Noise Fest sebagai wadah berjejaring kepada sesama pelaku bunyi dalam konteks lokal maupun internasional
MUARASUARA – Performance and Sound Art Festival initiated by Forum Lenteng in 2019. For the first time, the festival was held on 27 and 28 September 2019 at Rinjani Building, Taman Budaya Samarinda, East Kalimantan. The two-day festival was attended by eleven performance artists and sound artists from five countries.
On September 27, 2019, Robby Ocktavian as director of the festival opened the festival by briefly explaining the profile of MUARASUARA to the audience who had attended. Robby explained that aside from being an effort to map the art scene in Samarinda and Kalimantan, MUARASUARA also tried to read how the practices and experiments of the sound artists in Indonesia and other countries were netted through this festival.
On the first day of the festival, MUARASUARA invited Naoto Yamagishi (Japan), Jeritan (Samarinda, Indonesia), RxV (Samarinda, Indonesia) & Dewa Gugat (Padang Panjang, Indonesia) and Lintang Radittya (Yogyakarta, Indonesia). The second day of the festival opens with Artist Talk. MUARASUARA invited Lintang Radittya (Yogyakarta, Indonesia), Jonas Engel (Denmark), Prashasti Wilujeng Putri, to represent 69 Performance Clubs (Jakarta, Indonesia), and Syahrullah “Ule” from the MUARASUARA board as speakers. The Artist Talk that took place that afternoon was attended by school students, university students, and artists in Samarinda with Asril Gunawan (Head of Ethnomusicology Study Program at FIB Mulawarman University) as the moderator.
Artists who were present as speakers and attended shared how their work processes and practices, the experiments they conducted, and the findings in their activities in exploring sound. The question of performance and performativity in the arts also became one of the topics discussed after Prashasti presented 69 Performance Clubs as a platform for performance art studies initiated by Forum Lenteng. In the evening, the festival continued by presenting Sarana (Samarinda, Indonesia) & Mahamboro (Yogyakarta, Indonesia), then continued by Jonas Engel (Denmark), Kok Siew Wai (Malaysia) & Theo Nugraha (Samarinda, Indonesia), and closed by 69 Performance Club (Indonesia).
The wave of experimental music and sound movements in Samarinda begun since 2013. Some of the active artists since then include Sarana, Jeritan, Astrojo, Jeliwan Tok Hudoq, Theo Nugraha, and Rxv. In 2017, the sound artists in Samarinda held Samarinda Noise Fest as a hub for networking, locally and internationally.