Umumnya rekaman bunyi disimpan pada media magnetik yang memiliki keluaran bunyi seperti kaset dan piringan hitam. Hari ini, rekaman bunyi disimpan dalam bentuk biner yang dapat diperdengarkan melalui perangkat media digital. Theo Nugraha, seniman bunyi asal Samarinda, mencoba kemungkinan lain untuk menyimpan bebunyian. Pada awal 2019, dalam residensinya di helatan Bangsal Menggawe di Pemenang, Lombok Utara, ia mengajak masyarakat sekitar untuk rekaman bebunyian yang ada di lingkungannya dengan medium kertas dan pena. Interpretasi bentuk visual dan teks yang dihimpun dalam bentuk zine tersebut, “memperdengarkan” memori kolektif perihal kejadian yang ada di Pemenang, pada masa itu.
Pada bulan Januari hingga Maret 2019, festival seni Bangsal Menggawe bertajuk Museum Dongeng dilaksanakan di Lombok Utara. Saya turut terlibat bersama kawan-kawan Forum Lenteng lainnya, antara lain Anggraeni Widhiasih, Dhuha Ramadhani, Maria Christina Silalahi, Manshur Zikri, dan Pingkan Polla. Bangsal Menggawe adalah sebuah festival4 seni yang diinisasi oleh yayasan pasirputih sebagai sarana bagi warga masyarakat lokal di Pemenang Lombok Utara. Otty Widasari dan Muhammad Sibawaihi selaku kurator Bangsal Menggawe 2019 mengangkat tema kuratorial Museum Dongeng untuk merespons situasi pascagempa di kecamatan Pemenang yang telah membuat Bangsal Menggawe tahun 2018 tertunda. Situasi pascagempa mengangkat pentingnya kisah-kisah dari warga setempat yang memang telah memiliki kegemaran bertutur atau mendongeng.
Saat berdiskusi dengan Otty, saya mengajukan pengarsipan dongeng tersebut dengan pendekatan soundscape dan metode soundmap untuk terlibat pada Bangsal Menggawe: Museum Dongeng. Secara sederhana, soundscape adalah kehadiran bunyi di sekitar kita. Pendekatan bunyi menjadi salah satu cara saya untuk mengenali lokasi tersebut. Jika sebelumnya perekaman soundscape menggunakan sebuah perekam audio, maka kali ini saya merekam dengan teks dan visual. Hasil akhir proyek ini berbentuk sebuah zine yang digandakan melalui mesin fotokopi dan dibagikan di malam puncak Bangsal Menggawe 2019.
Dalam mendata bebunyian yang hadir di kecamatan Pemenang, saya memulai dengan salah satu program Bangsal Menggawe yang diselenggarakan oleh yayasan pasirputih, yaitu KELASWAH. KELASWAH adalah program yang memungkinkan jejaring dan rekan yayasan pasirputih yang datang ke Pemenang untuk berbagi talentanya dengan warga. Saya memulai program tersebut dengan perkenalan dasar-dasar soundscape beserta praktiknya. Kemudian saya mengajak partisipan yang hadir untuk mendengar bunyi di sekitar kantor yayasan pasirputih saat lokakarya berlangsung. Masing-masing partisipan mulai mengidentifikasi kehadiran bunyi di sekitar dan saling berbagi tentang bunyi yang mereka dengar di lokasi tersebut. Dengan begitu, para partisipan dapat mengenali lingkungan sekitarnya melalui bunyi.
Setelahnya, saya meminta para partisipan untuk saling menceritakan bunyi yang ada dalam ingatan mereka; baik sebelum dan sesudah gempa. Dalam praktik saya sebelumnya, untuk mengumpulkan data-data soundscape, biasanya saya hadir secara langsung di titik lokasi tersebut. Namun data yang saya temukan dalam lokakarya ini justru dari berbagai cerita dan ingatan yang dibagikan. Saat itu, salah satu partisipan mengatakan bahwa sebelum gempa terdapat pasar yang sangat ramai sehingga suaranya terdengar. Akan tetapi sekarang sudah tidak lagi. Esok harinya saat saya mengunjungi pasar itu, di sana hanya ada puing-puing dan di tengah puing-puing itu melintas seekor anjing.
Pada proses selanjutnya, saya mengunjungi berugaq satu per satu. Berugaq adalah semacam gazebo berbahan bambu yang menjadi sebuah wadah berkumpul bagi warga di Lombok Utara. Pembangunan berugaq menjadi signifikan pascagempa karena bangunan ini dinilai lebih aman dan ekonomis untuk warga. Di berugaq inilah kisah demi kisah saya dengarkan bersama warga. Kisah yang dilontarkan bermacam-macam; pantun, tebak-tebakan, banyolan, dan cerita tentang kegiatan sehari-hari warga tapi tidak berakhir sempurna saat diceritakan.
Pak Samigo, salah satu warga yang duduk di berugaq memberikan kisah yang berbunyi:
Batu Bara vs Batu Apung
Adalah setiap julukan ayam dari Pulau Kalimantan (Batu Bara)
dan Pulau Lombok (Batu Apung)
Ayam-ayam itu berkelahi menggunakan pisau
Tapi ada lomba yang memang selalu mundur. Itu namanya tarik tambang
Bersama warga, saya mulai mencatat kisah-kisah tersebut dalam bentuk tulisan dan gambar. Catatan itu kami kerjakan bersama dan kami pun tidak lupa menggambar sumber bunyi yang terdengar di sekitar kami. Kepingan-kepingan ingatan tersebut kami kumpulkan perlahan. Terkadang saya seperti mendengar dongeng saat bersama mereka.
Selain itu kami juga juga mencatat kehadiran bunyi selama kegiatan Bangsal Menggawe, seperti keriuhan selama pertandingan Bangsal Cup bersama komentator Pak Haryadi dan Muhammad Rusli Oka, proses pembuatan karya Tapa Kelomang oleh Maria Silalahi dan Mintarja, serta kegiatan lainnya yang berlangsung saat itu.
Menonton Bangsal Cup adalah hal yang seru saat Bangsal menggawe. Bangsal Cup adalah salah satu pertandingan sepak bola yang ditunggu-tunggu oleh warga Pemenang. Selain pertandingan yang seru, komentar yang dibawakan oleh Muhammad Rusli Oka dan Pak Haryadi juga tidak kalah seru. Bunyi-bunyi dari lapangan itu pun seakan tumpang tindih dengan informasi yang diserukan oleh komentator. Tapi kami menyukai distorsi (lapisan-lapisan bunyi yang saling mengintervensi, -red) tersebut, seperti bunyi yang terkomposisi dengan baik. Berikut salah satu ocehan sang komentator Bangsal Cup 2019.
Otak-Atik Dia Punya Bola
Bz bz bz bz….. hampir saja bola masuk!
Berbahaya Woooooiiiiii!!!
Tahan dulu ambil posisi
Apa yang terjadi?? Dikira main Volly
Sementara beberapa pemain membuat pagar.
NIH, BOLA NIH!!
Terkena kawan sendiri
BERBAHAYA!!!!
Di saat yang lain, saya mengunjungi proses karya Tapa Kelomang oleh Maria Silalahi dan Mintarja. Mintarja adalah lelaki tua yang energik dalam berkesenian, dan juga hobi memelihara berbagai macam burung. Dalam kunjungan itu, saya menggambar sketsa peristiwa pembuatan karya mereka. Selain itu, saya juga bertanya kepada Mintarja apakah ada suara yang mengganggu di sini. “Ada,” ujarnya. Dia mengutarakan tentang hak telinganya:
Hak Telinga
Boleh bersuara.
Tapi jangan merampas hak telinga saya.
Suara-suara yang kita dengar itu enak.
Tiba-tiba ada suara lain yang mengganggu.
Saya pergi.
Kemudian dia berlalu, bermain bersama para peliharaan burungnya yang sebenarnya sangat berisik, tapi dia tak terganggu.
Metode pencatatan tulisan dan visual ini dikenal sebagai soundmap (pemetaan bunyi). Selain untuk merangsang indra pendengaran dan mengalami penjelajahan sonik, tujuan praktik ini adalah sebagai upaya pengarsipan kehadiran-kehadiran bunyi di Kecamatan Pemenang. Data yang terkumpul akan di-scan satu per satu. Berkas fisiknya kemudian dijilid sesuai urutan yang telah ditentukan. Tulisan dan gambar hasil pendengaran saya, Mintarja, Muhammad Imran, Muhammad Rusli Oka, dan warga lainnya menjadi sebuah zine bertajuk “Bunyi Sang Pemenang”. Zine menjadi pilihan artistik saya dalam memproduksi pemetaan suara tersebut karena zine merupakan media alternatif yang mempunyai sejarah berbagi dari pelaku antarkolektif untuk saling memberi informasi dan berjejaring. Mesin fotokopi menjadi alat untuk menggandakan zine yang dibagikan kepada warga pada saat malam puncak Bangsal Menggawe: Museum Dongeng. Zine menjadi metode untuk memuseumkan dongeng-dongeng yang banyak dilontarkan di Kecamatan Pemenang karena pada dasarnya, warga Pemenang gemar bercerita. Hampir setiap hari terdengar kisah mereka yang tidak ada habisnya. Terkadang cerita mereka terdengar seperti dongeng, distortif, dan mengundang tawa. Dongeng yang mereka lontarkan ini adalah soundscape Kecamatan Pemenang, sebuah kisah yang terdiri ingatan-ingatan para warga dan terus terjaga melalui Dongeng Pemenang.