Pada hari Sabtu, tanggal 7 Maret 2020, Juan Arminandi, seorang musisi dan komposer yang berbasis di Pontianak, Kalimantan Barat, mempresentasikan karyanya di Forum Lenteng. Sejak tahun 2018 ia mulai merancang sebuah instrumen musik sendiri. Terinspirasi dari instrumen musik tradisional Kalimantan, yakni sape dan selodang, ia membuat instrumen baru yang dinamakannya MU74n (mutant). Baginya, melalui MU74n, ia bisa merepresentasikan suara di Kalimantan saat ini. Selain membuat instrumen, dia aktif ikut serta dengan berbagai proyek eksplorasi musik eksperimental serta meriset tradisi musik dari Kalimantan. Pada 9 Maret 2020, Syahrullah “Ule”, Dhuha Ramadhani, dan Pingkan Polla mewawancarai Juan Arminandi di Forum Lenteng.

Syahrullah “Ule”
Terima kasih Juan sudah menyediakan waktunya. Jadi wawancara ini adalah salah satu upaya kami, MUARASUARA, untuk merekam pelaku-pelaku seni bunyi yang kami anggap penting dalam perkembangan seni bunyi di Indonesia. Kami ingin tahu lebih mendalam apa yang dilakukan oleh Juan sebagai seniman, atau komposer, atau musisi ini secara artistik. Dan barangkali juga terkait dengan bagaimana Juan melihat karya-karya Juan dalam konteks sosio-politiknya. Nah, di pertemuan sekarang ini, kami ingin tahu tentang proses artistik kamu. Bagaimana Juan mengembangkan karyanya, dan mengingat Juan adalah lulusan etnomusikologi. Seringkali etnomusikologi dianggap hanya terbatas pada musik tradisi sehingga berjarak dengan musik-musik eksperimental yang banyak sekali berkembang di skena seni global. Musik tradisi tidak dilihat sebagai suatu eksperimentasi. Ini juga adalah salah satu yang ingin kami pelajari. Nah bagaimana, Juan? Dari latar belakang Juan dulu, seperti kuliah di mana, dan sebagainya.
Juan Arminandi
Oke. Nama saya Juan Arminandi. Saya lebih memilih menyebut diri saya sebagai seniman, tidak spesifik ingin dibilang sebagai musisi atau komposer, karena “seniman” itu kan lebih fleksibel. Bisa jadi komposer, bisa jadi musisi. Awalnya dulu ingin kuliah di ISI Yogyakarta, tapi tidak diperbolehkan oleh orang tua karena jauh. Lalu kebetulan saya mendapat kabar bahwa kampus seni di Pontianak membuka pendaftaran. Awalnya saya tidak tahu itu seni apa, tapi coba-coba aja dulu. Begitu lulus, baru tahu kalau itu fokus ke pendidikan seni, jadi S.Pd (Sarjana Pendidikan). Namanya Universitas Tanjungpura. Prodi Seni itu baru dibuka tahun 2008, dan saya masuk di tahun 2009. Saya lulus itu tahun 2015 atau 2016.
Syahrullah “Ule”
Juan itu kan lebih dikenal sebagai instrument builder dan komposer?
Juan Arminandi
Memang dulu pas kuliah itu awalnya mau jadi komposer. Nggak tahu, suka aja di ranah itu. Waktu kuliah dulu saya belajar berbagai teknik, terus juga belajar instrumen tradisi Kalimantan. Itu buat saya adalah suatu eksperimentasi sendiri. Bagaimana meng-compose itu. Lalu juga bereksperimentasi sama instrumen Barat. Itu jadi pengalaman buat saya untuk meng-compose musik. Saya mulai jadi instrument builder itu di November 2018. Ketika itu saya ingin main instrumen yang bunyinya saya yang cari sendiri. Jadi dibuatlah instrumen, saya bangun instrumen. Awalnya dari eksplorasi aja sebenarnya. Yang penting bagi saya adalah bunyi atau frekuensi yang dihasilkan sesuai dengan kemauan saya. Itu yang membuat saya… ”Oke, instrument builder menjadi sebuah tantangan baru bagi saya!”
Dhuha Ramadhani
Di kampus tadi kamu bilang belajar soal instrumen Barat, dan juga tradisi. Menurutmu, apa yang membuat dua musik ini berbeda?
Juan Arminandi
Kalau Barat, apa ya… mereka sudah punya literasi yang pakem. Bukan pakem, sih, ya karena sampai sekarang masih berlanjut juga. Berkembang terus. Dari dulunya musik klasik, musik renaissance, romantik. Mereka punya rekam jejak instrumen yang panjang sekali dan mereka sadar untuk menuliskan itu. Dan akhirnya literatur mereka “jadi”. Dan itu diterapkan ke generasi selanjutnya. Kalau instrumen tradisi, itu berbeda cara dan perlakuannya. Feel-nya berbeda. Itu yang menarik bagi saya. Perbedaan ini bisa disatukan dengan meng-compose antara Timur dan Barat itu. Itu yang menjadi sebuah tantangan waktu saya meng-compose atau waktu saya bikin musik buat teater atau tari.
Dhuha Ramadhani
Tadi kamu bilang, di Barat itu literaturnya ada. Apakah di sini juga begitu? Di musik tradisi, literatur itu tidak ada? Atau ada dalam bentuk lain sebenarnya? Dengan kata lain, menjadikannya tidak bisa diajarkan di kampus?
Juan Arminandi
Itu ada, tapi dalam bentuk lain, dan caranya berbeda. Menurutku, kita lebih banyak intens di persoalan moral. Bagaimana cara memainkan, bunyinya seperti apa, “tung ting tededeng… tung ting tededeng…” nah ini bunyinya menjadi jembatan. Rasanya… personal, langsung. Itu literaturnya ada nggak ya? Itu yang diupayakan untuk dituliskan kembali sekarang ini. Dulu memang sudah ada literatur yang diteliti oleh orang luar yang datang ke Kalimantan untuk meneliti. Lalu mereka menuliskan kembali. Yang menjadi masalah adalah itu berbahasa Inggris. Bagaimana caranya kemudian untuk mentransfer ke masyarakat kita? Terus kenapa enggak orang Indonesia aja yang meneliti biar lebih enak, gitu? Yang menjadi masalah lagi, beberapa tahun yang lalu kami punya satu perpustakaan besar yang disebut Institut Dayakologi. Itu gedungnya terbakar dan arsipnya banyak yang hilang. Itu kami harus cari lagi literaturnya. Musiknya, notasinya. Itu jadi PR (pekerjaan rumah) dan memerlukan waktu yang panjang.
Dhuha Ramadhani
Kalau posisi musiknya itu sendiri, menurut kamu ada yang beda nggak? Antara Barat dan Timur, ada di mana posisi musik di masyarakat? Di keseharian, apakah kalau di Barat memang dia adalah keseharian? Kalau di sini kan musik itu ritual, misalnya.
Juan Arminandi
Musik tradisi kita memang ada yang untuk ritual, ada yang untuk pengobatan, ada juga untuk hiburan. Kalau di Barat aku nggak tahu. Tapi yang menarik adalah ketika budaya barat itu masuk ke kita lewat internet. Budaya kita, musik tradisi, itu sangat biasa dimainkan oleh budayawan lokal sehingga masyarakat kita juga sudah biasa. Memang di keseharian mendengarkan itu. Tapi kalau musik barat, kita baru dengar, jadi rasa ingin tahunya tinggi. Di waktu itu saya sedang mencari instrumen yang unik atau instrumen dari luar. Tapi tetap, saya balik lagi ke dari mana saya lahir, atau dari mana saya besar.
Dhuha Ramadhani
Di Barat itu kan ada renaissance, dan lain-lainnya, itu kan pasti mempengaruhi, ada modernitas yang mempengaruhi gimana mereka membuat instrumen dan membuat komposisi, kan? Semisal karakter Barat itu adalah lebih matematis, terhitung komposisinya, kalau di Timur seperti apa? Mungkin bisa diterangkan juga perbedaannya.
Juan Arminandi
Nggak bisa… karena menurutku, yang paling mempengaruhi adalah teritorial. Teritorial kalau di tempatku di Kalimantan, misalnya kayak Dayak gitu ya, mereka punya teritorial yang membentuk musik mereka. Menurutku itu liar. Dia lebih intim, aku agak susah menjelaskan.
Dhuha Ramadhani
Mungkin bisa dikasih contoh. Seperti misalnya apa pengaruh kontur pegunungan, bukit, atau laut sama musiknya. Kan dia mempengaruhi karakter manusianya juga kan?
Juan Arminandi
Kalau kami di Kalimantan itu mereka banyak ke menirukan suara alam. Ada satu karya itu namanya da’ingang, artinya burung. Burung enggang. Mereka menirukan burung enggang, entah itu sayapnya, atau kakinya, atau apapun. Jadi mereka lebih mengikuti apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar, apa yang mereka rasakan. Membuat musiknya jadi lebih intim ke masyarakatnya. Maksudnya, dekat dengan teritorial yang mereka tempati. Aku juga nggak tahu apakah di Barat seperti itu apa enggak. Tapi yang pasti, yang menurutku teritorial itu membentuk sebuah manusia atau sebuah musik menjadi sebuah identitas. Aku kan kemarin ke Polandia, terus aku cari bagaimana sih musik tradisi mereka. Ada orang-orang yang tinggal di gunung dan musik mereka itu kalau aku dengar lebih ke ceria. Nah aku juga nggak tahu bagaimana mereka men-trigger itu. Yang jadi poin penting, karena menurutku agak susah membedakan antara Timur dan Barat nih, adalah bagaimana manusianya merasakan itu. Bagaimana mereka menginterpretasikan ulang dan kadang bisa juga berubah per tahun, atau per berapa generasi.
Dhuha Ramadhani
Kalau cara menurunkan atau mewariskan dan melestarikan musiknya, kalau misalnya di Barat kan kita kenal notasi. Jadi mau dimainkan sekarang atau kapan pun akan tetap sama. Bagaimana kalau musik tradisi?
Juan Arminandi
Hal yang paling penting itu bukan notasinya menurutku, melainkan daya pengetahuan atau daya serap kita terhadap musik tradisi. Kesenian tradisi itu kompleks, khususnya untuk Kalimantan, soalnya susah nih kalau ngomongin Indonesia, dan aku juga belum ke mana-mana. Mereka itu kompleks, dan yang paling penting adalah bagaimana cara memahaminya. Musiknya untuk apa sih? Untuk ritual? Oke, berarti kita sudah mem-plot diri kita main musik untuk ritual. Ini main musik bukan untuk main-main berarti. Kalau untuk acara pernikahan, misalnya, mainnya masih bisa fleksibel karena biasanya untuk pernikahan itu lebih interaktif. Perbedaan perlakuan ini menjadi trigger masyarakat bagaimana mereka memahami musik itu sendiri. Kalau di Barat, mereka memang jadi punya notasi karena mereka sadar untuk menuliskan itu, dan yang jadi ketakutanku adalah ketika musik Kalimantan dijadikan notasi, dan pakem itu bisa….apa ya, bisa sedikit “berbahaya” kalau menurutku. Karena kita punya budaya yang berbeda. Sistemnya nggak bisa disamakan dengan yang di Barat.
Dhuha Ramadhani
Kamu kan instrument builder, nih. Kenapa kamu lebih memilih untuk bikin alat musik sendiri? Ketimbang pakai instrumen tradisional dengan memakai logika Barat, misalnya.
Juan Arminandi
Aku lebih suka cari bunyi baru. Tapi yang menjadi landasan adalah aku tidak melupakan tradisiku. Apa yang aku riset, apa yang aku tahu di Kalimantan aku coba kembangkan dengan instrumen yang aku buat untuk menemukan bunyi-bunyi yang baru. Aku lebih memilih itu untuk sekarang. Maksudnya aku juga nggak tahu ke depanya nanti aku akan buat karya apa, atau komposisi apa, atau instrumen apa. Dan untuk sementara ini yang jadi trigger aku berkarya atau membuat sesuatu itu adalah proses pencarian bunyi itu sendiri.
Syahrullah “Ule”
Nah coba ceritakan soal si Mu74n dan KWN95 ini.
Juan Arminandi
Jadi memang proyeknya itu sudah dari dua tahun yang lalu. Mutan (Mu74n) itu awalnya saya buat dan bahannya itu sebenarnya….ide besarnya adalah pengalaman saya selama tinggal di Kalimantan. Setiap tahunnya, hutan di Kalimantan itu hilang, gitu. Dibakar, atau ditebang.
Dhuha Ramadhani
Oleh?
Juan Arminandi
Sampai sekarang kami belum tahu siapa pelakunya, atau apakah memang terbakar sendiri. Karena di Kalimantan itu lahan gambut, dan itu mudah sekali terbakar. Jadi bagaimana saya menginterpretasi keadaan sekarang yang saya alami itu adalah dengan berkesenian. Jadi Mu74n ini berbahan baku kayu karena kayu banyak hilang. Jadi sebelum kayu hilang, aku ambil dulu kayunya, dijadikan Mu74n. Itu sebagai suara-suara kayu yang sudah ditebang. Aku instalasikan dengan senar. Ya kalau dilihat bentuk instrumennya itu seperti instrumen tradisi, Sape’ dari Dayak. Sejak kelahiran Mu74n itu sampai sekarang dia masih mengalami perubahan karena menurutku masih belum ada pakem yang pas, karena aku masih mencari bunyinya. Masih mencari cara memainkannya dengan cara yang baru. Dulu aku main kayak gitar, diselempangkan, atau main sambil duduk. Kalau sekarang aku mainkan dengan cara didirikan. Itu adalah perubahan atau eksplorasi yang aku lakukan. Nah, Mu74n itu memang mempresentasikan hutan di Kalimantan.
Sedangkan untuk KWN95 itu soal keseharian yang aku alami ketika kabut asap menyelimuti Kalimantan. Setiap ada kabut asap, kami harus menggunakan masker saat keluar rumah. Di dalam rumah juga kadang-kadang kalau memang merasa itu parah banget ya harus pakai masker. Kalau mau tidur juga kadang harus pakai masker. “Wah susah nih, masa setiap hari harus pakai masker.” Jadi aku coba eksplorasi. Idenya adalah bikin masker itu bisa mengeluarkan bunyi. Akhirnya aku dapat masker gas, yang kayak orang buat grafiti. Aku buat di dalamnya supaya bisa mengeluarkan bunyi. Idenya dari alat musik keledi atau kadede. Itu jenis mouth organ yang ada di Kalimantan. Instrumen itu bisa mengeluarkan banyak nada atau banyak bunyi. Nah, masker ini harus bisa mengeluarkan banyak bunyi atau nada. Ini yang menjadi trigger pembuatan KWN95. Untuk namanya sendiri, tahun lalu itu saya baru melihat masker N95. Maskernya emang keren sih hehe, jadi yaudah lah, “ini namanya KWN95!” Bukan N95-nya, tapi KW-nya. Karena kalau bukan di Indonesia kan kita tahunya KW. Bukan barang ori. Jadi KWN95, bukan ori N95.
Syahrullah “Ule”
Tadi sebelumnya kan kamu bahas tentang Barat sama tradisi. Sejauh mana itu mempengaruhi pembuatan instrumen kamu? Seperti di Mu74n dan KWN95 itu?
Juan Arminandi
Lebih ke pengalaman sih. Maksudnya, kalau di Barat itu kan misalnya gitar, itu perkembangan dari lute. Perkembangannya itu selalu ada dari lute lalu jadi apa, lalu jadi gitar. Seperti kalau instrumen tiup, dari klarinet terus mereka berubah, ada inovasi lain, seperti yang dilakukan oleh Adolphe Sax, menjadi Saxophone. Lalu juga ada saxophone yang fingeringnya pakai flute. Nah aku juga jadi berpikir, sampai sekarang instrumen yang mereka kembangkan itu sama juga sama instrumen yang aku kembangkan. Hmm aku bukannya mau merusak tradisi, tapi aku mengembangkan instrumen dari apa yang aku lihat di keseharianku. Itu yang menjadi acuan kenapa aku berani membuat kayak gini, membuat instrumen baru, dan aku nggak tahu bagaimana pengaruhnya. Tapi yang penting bagiku adalah manusianya. Karena memang bagaimanapun kita berinteraksi dengan apa yang ada di sekitar kita. Mereka pun punya cara mereka untuk berinteraksi dengan sekitarnya. Hal yang menarik dari “Barat dan Timur” sebenarnya itu kan…apa ya, seperti dikotak-kotakkan. Jadi buat apa mengkotak-kotakkan, lebih baik jalan aja, jadi menarik.
Syahrullah “ule”
Terus apa proyek pribadi kamu sekarang?
Juan Arminandi
Kalau dulunya memang aku suka buat musik. Aku meng-compose musik. Dua tahun terakhir aku suka berkolaborasi, untuk teater, tari. Aku bikin proyek sama temanku yang anak teater. Dia penulis juga. Namanya Dafi. Dia dulu kuliah di Jogja, lalu balik ke Pontianak. Aku pengen tahu bagaimana kolaborasi interdisiplin antara teater dan musik. Akhirnya terbentuklah Manangkata. Ini proyek untuk menginterpretasi sebuah masalah yang sama. Kami interpretasi ulang dengan cara kami masing-masing dan digabungkan menjadi satu. Aku dengan musikku, Dafi dengan teaternya. Misalnya kami merespons asap. Setelah sama-sama mengeksplorasi, kami rekam, baik itu audio maupun visual. Lalu kami tonton sama-sama, nanti ada diskusi setelahnya.
“Manang” itu artinya “dukun”, “kata” itu… ya “kata”! Nah, jadi “kata-kata dukun” ini hahaha. Kami bikin sebuah isu jadi pertunjukan. Kadang ada teman yang bikin visual juga. Jadi Manangkata itu ada visualnya, teaternya, ada musiknya. Sebenarnya itu kan ada di musik atau kesenian tradisi kita. Biasanya untuk sebuah ritual ada tari, ada dukunnya juga, ada musiknya juga. Kompleks. Aku ambil itu untuk belajar memahami satu sama lain.
Nah kan aku sudah meng-compose, sudah mengembangkan instrumen, mau buat apa lagi aku nggak tahu. Akan selalu berubah ketika aku mengalami sebuah perjalanan. Sekarang malah pengen bikin kostum nih. Jadi berkembang nggak cuma di musik aja, tapi sesuai sama apa yang aku rasakan.
Dhuha Ramadhani
Kalau sebelum pentas misalnya kayak kemarin itu, yang disiapkan apa sih kalau nggak pakai notasi? Apa yang jadi pegangan untuk menampilkan sesuatu?
Juan Arminandi
Notasi itu sebenarnya ya instruksi, habis ini apa, habis ini yang mana. Yang membedakan adalah durasinya. Kalau biasanya dulu aku harus ada yang diulang empat kali, “empat kali pindah ke sini”, gitu. Nah, sedangkan di tempat lain aku nggak harus mengulang empat kali. Jadi sebenarnya aku menjadi terpenjara kalau harus baca notasi. Aku buat aku bebas walaupun aku punya aturan. Biar melatih kebebasan. Kebebasan harus dikeluarkan lewat bunyi. Aturan itu, di Kalimantan itu mereka punya pattern. Aturannya adalah pattern, yang kadang ada yang berubah. Aksesnya berubah atau bergeser. Jadi ada bebasnya. Yap! Hahaha!
Syahrullah “Ule”
Soal kostum yang sempat kamu sebut itu gimana? Apa itu sudah mulai? Seperti kemarin waktu perform kan kita melihat kamu pakai kostum baju lab.
Juan Arminandi
Ya ketika seseorang di atas panggung, semua indera manusia kan bekerja. Mata, telinga, hidung. Ketika orang naik ke panggung, baunya apa ya? Aku jadi berpikir ketika aku performance naik ke panggung. Atau ketika penari naik ke panggung, mereka punya gaya masing-masing yang menurutku harus diperhatikan. Jadi ketika menggunakan baju lab itu adalah sebuah trigger, “Oh musiknya kayak gini, kostumnya kayak gini, baunya gimana ya…?” Banyak yang dilihat, karena nggak semua penonton itu orang musik.
Dhuha Ramadhani
Bagaimana bau mempengaruhi improvisasi?
Juan Arminandi
Aku juga nggak tahu. Boleh dicoba. Misalnya, bagaimana ya, kalau misalnya ada setanggi? Dulu kan kalau ada setanggi orang langsung takut. Ada apa ya?
Syahrullah “Ule”
Setanggi itu apa?
Juan Arminandi
Apa ya? Garu itu lho (Pohon Gaharu). Garu yang dibakar. Atau bunga anggrek. Ada kan? Menarik tuh, ide bagus hahaha.
Dhuha Ramadhani
Pernah ada nggak proyek yang menghadirkan bau?
Juan Arminandi
Sekarang belum.
Dhuha Ramadhani
Terus ke Jerman kemarin itu kamu ngapain?
Juan Arminandi
Itu aku ikut residensi. Hack lab dari CTM Festival. Mereka punya program hack lab. Untuk artists, mereka punya open call untuk semua seniman; visual, musisi, tari, teater. Aku dipanggil, datang ke sana, terus kami kerja sama antar seniman, jadi lintas disiplin. Menarik sih bagaimana aku bisa belajar memahami cara berpikir mereka semua tentang apa yang mereka alami dan menghadirkannya di atas panggung. Kalau ketemu orang luar daerah atau luar negeri itu jadi pengalaman baru lagi. Di hack lab itu aku juga diminta untuk ngasih workshop tentang proyek aku membangun instrumen. Tentang bagaimana “kesenian dan time crisis”, kayak gitu, atau “kesenian dan perubahan iklim”. Aku juga dapat kesempatan untuk aku jelaskan proyekku.
Terus juga aku ke Amsterdam. Proyeknya itu soal bagaimana manusia menjadi arsip kesenian. Aku mencoba menjelaskan apa yang aku alami. Bagaimana aku sebagai manusia yang bekerja di bidang seni ini. Di Polandia juga aku mempresentasikan tentang itu. Pengalaman baru buat aku, aku presentasi di luar dengan apa yang aku punya dan mereka juga banyak memberi feedback. Yang paling penting adalah manusianya, bagaimana cara hidup, cara berinteraksi, cara membuat inovasi. Jadi itu aku bilang adalah sebuah perjalanan yang nggak sia-sia untuk menghabiskan uang, gitu. Hahaha.
Dhuha Ramadhani
Waktu CTM mengadakan open call, apakah mereka memberikan tema tertentu terus kamu merespons itu?
Juan Arminandi
Kalau kemarin itu temanya soal liminalitas. Kalau aku bilang itu seperti Hercules. Ada di tengah-tengah, sebenarnya. Antara manusia dan dewa. Sama dengan posisi kita sekarang. Maksudku, kita sekarang banyak mengalami atau mendapatkan informasi yang banyak sekali, berbeda-beda. Ada yang positif, ada yang negatif. Ada yang apa pun lah! Aku sebagai manusia mencoba untuk memahami masalah itu. Kita itu ada di tengah-tengah hal-hal yang sangat rumit, kompleks. Kita harus cari jalan keluarnya sendiri. Kita tidak bisa main memihak salah satu. Kompleks! Susah sekali untuk membuat statement.
Dhuha Ramadhani
“Pihak” yang dimaksud ini maksudnya pihak apa?
Juan Arminandi
Misalnya virus corona. Ada beritanya seperti ini. Nanti ada lagi versi yang lain. Kita tidak tahu mana yang benar gitu, kan. “Oh pasien ada sepuluh orang”, misalnya. Tapi ada yang bilang, “Oh dua belas, tapi ada yang belum positif terinfeksi.” Kita dibuat bingung, dan tidak bisa melihat langsung. Kita harus cari tahu benar-benar, tidak boleh langsung percaya dengan salah satu pihak.
Dhuha Ramadhani
Apa “memihak” ini termasuk yang kamu bilang: “Oh aku seniman, bukan composer atau instrument builder”?
Juan Arminandi
Iya. Aku memilih itu karena aku juga bisa membuat instrumen, aku bisa membuat komposisi dari instrumen yang aku buat. Aku juga bisa membuat performance sendiri dari apa yang aku alami. Kalau misalnya aku akan buat kostum juga, bebas. Memang kalau komposer sudah ada semacam alur, fokus tertentu yang sudah dibuat. Tapi dengan menjadi seniman, aku bisa ke mana-mana.
Syahrullah “Ule”
Motifmu, visi kamu ini apakah sama dengan yang kamu bawa?
Juan Arminandi
Aku ingin merasakan bagaimana animo di sana. Bagaimana cara kesenian mereka di sana. Terus juga aku membagikan pengalamanku dan apa yang aku rasakan. Jadi transfer ilmu pengetahuan.
Syahrullah “Ule”
Terus soal dana gimana tuh selama kamu di sana? Apakah ada yang membiayai atau pribadi?
Juan Arminandi
Untuk berangkatnya itu duit aku pribadi. Ada juga bantuan dari beberapa pihak untuk bantu nambahin ongkos hidup di sana. Terus juga mereka itu mengapresiasi sekali sama apa yang aku buat. Apresiasinya itu walau nggak ngasih uang, tapi dikasih penginapan, kasih transport. Jadi lumayan untuk hidup. Mereka kasih tawaran, “mau ngasih workshop atau enggak. Itu ada dananya, sekian.”
Dhuha Ramadhani
Kalau dari Indonesia ada yang bantu dana?
Juan Arminandi
Ada…. tapi nggak tembus haha. Ada instansi swasta, itu teman yang berwiraswasta. Haha. Terus ada instansi pemerintah juga. Ke Pemerintah Kota Pontianak sama ke Pemerintah Kabupaten Kubu Raya.
Syahrullah “Ule”
Keluarga kamu, ya? Hahaha.
Juan Arminandi
Maksudnya ya…. dekat gitu loh. Kayak Jakarta… Jakarta-Tangerang, kan dekat tuh! Hahaha.
Dhuha Ramadhani
Terus respons di sana yang kamu bilang apresiatif itu seperti apa, sih? Apa jangan-jangan karena eksotis aja gitu, karena kamu dari Indonesia, Dayak pula.
Juan Arminandi
Pertama, menurutku karena aku kan membuat instrumen. Ketika aku hadirkan di sana mereka seperti mendengarkan bunyi yang baru. Di sana kan mereka sering mendengarkan musik elektronik. Yang pure elektronik itu mereka sudah bosan. Ketika mendengarkan musikku, mereka langsung, “Wah bagaimana sih bisa begitu?” Awalnya aku malu, instrumenku jelek. Tapi ternyata feedback-nya baik. Ada yang ngasih masukan juga. Ada yang bertanya. Bervariasi.
Dhuha Ramadhani
Kalau tanggapan kamu sendiri gimana soal dinilai eksotik? Masalah atau enggak?
Juan Arminandi
Nggak, sih. Karena itu kan yang kita dengar setiap hari, lalu dihadirkan di luar. Aku punya caraku sendiri untuk menghadirkan bunyi itu. Kalau dibilang, aku bangga jadi orang Indonesia. Banyak sekali yang kita bisa dapatkan di sini. Banyak bahasanya, tradisinya. Mereka kan banyak juga tapi sedikit dan cenderung sama.
Dhuha Ramadhani
Oke. Terus sejauh ini sudah berapa album solo, atau duet, atau mixtape yang kamu buat?
Juan Arminandi
Kalau album….
Dhuha Ramadhani
Bekana itu apakah album atau bukan?
Juan Arminandi
Kalau Bekana itu proyek komposisi hehehe. Jadi aku pengen buat karya komposisi satu jam, misalnya begitu. Jadinya Bekana. Bekana itu juga adalah sastra lisan yang ada di Kalimantan. Aku interpretasi ulang dengan keadaan sosial sekarang ini. Terus yang di Manangkata juga ada, baru beberapa lagu. Maksudnya ada beberapa karya. Dan kami belum rilis. Terus yang proyek instrument building itu aku punya, Pabrik 74 namanya. Itu lebih ke instrument building dan proyek pribadiku juga. Aku juga sudah ngeluarin album di situ, tapi aku merasa ini nggak harus dikeluarkan.
Ya hahaha.. karena apa ya? ketika di sana itu aku mendapatkan feedback yang cukup baik. Hampir semua mengatakan bahwa musik elektronik sudah banyak. Tapi kalau kamu eksplor instrumenmu sendiri, itu lebih baik. Jadi ya sekarang aku pulang ke Indonesia mau membuat album yang proyeknya instrument building semua. Bunyinya dari situ semua.
Dhuha Ramadhani
Kalau sejauh ini distribusinya lewat mana?
Juan Arminandi
Sekarang sih aku masih mandiri. Aku rekam sendiri, burning sendiri, membuat cover sendiri. Ada juga beberapa kolektif di Kalimantan. Mereka coba untuk membuat kompilasi gitu loh. Di situ ada karya Manangkata naik. Terus juga di SoundCloud juga ada. Kalau di SoundCloud lebih banyak proyek pribadi. Semua proyek-proyek aku itu kan ada hasil musiknya, aku sebut sampel musik, karena masih banyak yang bisa diolah dari instrumen yang aku buat. Sampel-sampel itu aku unggah di SoundCloud. Biar ada rekam jejaknya.
Dhuha Ramadhani
Kalau yang fisik ada nggak?
Juan Arminandi
Yang fisik ada. Cuma ya itu, aku belum berani mengeluarkannya hahaha.
Dhuha Ramadhani
Bentuknya apa?
Juan Arminandi
Bentuknya CD.
Dhuha Ramadhani
Suka ngirim demo nggak? Kalau iya, ke mana?
Juan Arminandi
Hmmm sampai sekarang sering, tapi nggak pernah diterima. Banyak ke publisher-publisher gitu. Aku coba kirim-kirim, “Nih, aku punya kayak gini.” Tapi yaaa… itu, susah juga mereka. Kalau aku pikir, pasti mereka juga berpikir kalau selain musiknya, mereka juga ingin lihat fisiknya bagaimana. Instrumen yang dimainkan apa, cara memainkannya bagaimana. Jadi tuh yang ditangkap sebenarnya oleh audiens adalah pengalaman ketika mereka mengalami sebuah kesenian itu. Ketika mereka sudah melihat kamu perform, itu baru ada feedback-nya. Kadang juga ada yang menawarkan kerja sama. Ngasih kartu nama setelah melihat performans. Tapi kalau hanya kirim-kirim saja, mereka kadang belum percaya.
Dhuha Ramadhani
Kamu menyebut musik kamu ini musik apa sih?
Juan Arminandi
Aku lebih memilih eksperimental, karena dalam semuanya aku bereksperimen dengan bunyi yang baru. Aku kan bereksperimen, membuat karya. Ketika aku perform, atau dipentaskan, itu kan berarti aku share ke publik, aku share pengalamanku kepada audiens. Lalu audiensnya terserah mau memberi feedback apa. Aku kan juga memerlukan feedback itu. Ketika karya dilepaskan ke publik, aku perlu feedbacknya. Untuk membuat karya lagi.
Syahrullah “Ule”
Sejauh ini yang memberi feedback itu dari mana? Apakah tokoh tertentu atau festival?
Juan Arminandi
Festival salah satunya. Mereka punya audiens yang random. Kita nggak tau mana yang publisher, atau kurator. Biasanya kan memang publisher dan kurator itu datang ke festival untuk melihat performans.
Dhuha Ramadhani
Apa saja festivalnya?
Juan Arminandi
Salah satunya ya CTM Festival itu. Terus Artjog, aku pernah main di sana. Kalau Artjog itu Manangkata yang main.
Syahrullah “Ule”
Kalau di Indonesia, kamu pernah ngadain tur pribadi nggak? Di Kalimantan atau Jawa atau di mana gitu.
Juan Arminandi
Tahun lalu, tahun 2019, aku cari gigs di luar, jadi aku tur di Jogja sama Solo. Terus di tahun 2020 ini selain di luar negeri, juga di Jakarta beberapa kali main. Terus di Bandung juga.
Syahrullah “Ule”
Dari kota-kota itu yang paling apresiatif yang mana?
Juan Arminandi
Cara apresiasinya beda sih. Kalau di sini kita juga banyak mendengarkan kesenian. Banyak menonton pertunjukan. Jadi cara apresiasinya beda gitu. Kalau di luar negeri itu mereka biasanya langsung mendatangi aku, langsung ngomong sebelum mereka lupa. Seperti “Aku suka musikmu…. gini gini gini…”. Mereka langsung to the point gitu. Kalau di sini kan dilihat dulu, nggak langsung ngomong. Jadi kalau di Indonesia itu aku suka “main todong”. Setelah aku pentas aku tanya, “Bang gimana musikku?” setelah itu baru ngobrol. Jadi aku main todong biar dapat kritikan.
Dhuha Ramadhani
Kalau di Pontianak, di Taman Budaya Kalimantan Barat itu mereka merespons nggak?
Juan Arminandi
Aku nggak tahu, tapi yang sampai sekarang hidup di taman budaya itu teater dan tari. Musik juga kadang-kadang. Jadi kami coba cari ruang baru lah gitu, nggak mesti taman budaya. Di rumah juga bisa. Soalnya harus jemput bola, kalau hanya menunggu taman budaya itu susah.
Jadi misalnya aku pengen main di mana, aku datangin tempatnya dan orang-orangnya langsung. Memperkenalkan, “ini ada lho musik eksperimental.” Terus juga setelah pentas itu ada diskusinya, jadi ada edukasinya di situ.
Dhuha Ramadhani
Kalau scene seni musik dan sound art di Pontianak gimana?
Juan Arminandi
Lagi berkembang. Teman-teman yang suka nge-band juga sedang kenceng-kencengnya berkembang. Yang eksperimental juga. Jadi sama-sama bangun semua, mencari relasi sebanyak-banyaknya. Sama kami ini nggak membedakan yang akademis dan non-akademis. Kami merasakan itu satu, gitu. Jadi saling support. Misalnya saat anak-anak komunitas, yang non-akademis ini, lagi mengadakan gigs, yang anak-anak mahasiswa ikut nonton. Jadi sehat, saling support.
Dhuha Ramadhani
Ada nggak sih, kelompok yang… misalnya, cenderung noise, terus ada yang cenderung tetap memegang tradisi Dayak, gitu?
Juan Arminandi
Kalau di sana aku belum mendengarkan noise. Kalau instrument builder banyak. Aku dan teman-teman membuat komunitas, platform gitu, biar ada wadah untuk ini. Namanya Sonikustik. Udah pameran tahun lalu, bulan Februari. Kami pamerin instrumen yang kami buat sendiri. Ada yang suka elektronik, ada yang suka sensor. Macam-macam. Nanti Juli kami mau pameran lagi. Terus ada juga Balaan Tumaan. Lebih riset dan pengembangan musik tradisi. Tentang sosialnya, budaya, tari, semuanya kami riset. Kami kembangkan lagi setelah riset.
Syahrullah “Ule”
Balaan Tumaan itu kapan berdirinya?
Juan Arminandi
Kalau itu…. 2014. Awalnya itu proyek apa ya…. proyek dari kampus. Dapat hibah Dikti gitu loh. Harus pentas di luar. Jadi terbentuklah Balaan Tumaan itu. Terdiri dari tari dan musik. Kami pentas di Prancis, Jerman, apa lagi ya… lupa. Nah, setelah itu balik ke Indonesia, kami sempat vakum. Soalnya banyak yang sedang menyelesaikan kuliah. Lalu ada beberapa orang yang sudah selesai, ya sudah buat deh Balaan Tumaan jadi ansambel. Dulu awalnya ansambel ada delapan orang. Sekarang sepuluh orang, dan itu beragam, ada yang suka riset, ada yang suka menulis. Ada yang jadi musisi, ada yang kayak aku suka buat instrumen. Tapi yang jadi fokus utamanya itu riset dan pengembangan. Kita harus punya arsip untuk dikembangkan, jadi kita nggak main-main atau hanya sekadar bunyi, atau sekadar pentas.
Menarik sih menurutku karena di situ kami juga sharing informasi. Soalnya di Kalimantan itu punya sub-suku. Maksudnya kayak di Dayak dan Melayu. Dayak itu punya tiga ratus lebih sub-suku. Musiknya berbeda-beda, tariannya berbeda-beda. Terus Melayu juga begitu. Ada Melayu Sambas, ada Melayu Pontianak. Mereka juga beda-beda. Jadi kami kadang-kadang bagi-bagi risetnya. “Kamu mau riset yang mana?” “Oke aku cari yang lain, ya!” Atau kadang bareng-bareng. Jadi ya begitu lah cara kerjanya.
Syahrullah “Ule”
Balaan Tumaan tuh artinya apa?
Juan Arminandi
Itu diambil dari Bahasa Kayan, Dayak Kayan. Balaan Tumaan itu artinya titik. Pertemuan. Jadi ibaratnya kalau kita lihat laut dan langit itu kan ada garis di tengah. Nah itu disebut Balaan Tumaan.
Dhuha Ramadhani
Fatamorgana?
Juan Arminandi
Lebih ke… dia di tengah, nggak harus cakrawala. Apa ya… “Di antara”!
Syahrullah “Ule”
Kenapa milih nama Balaan Tumaan?
Juan Arminandi
Karena ya kami mengalami apa ya… dua idiom itu loh. Barat sama Timur. Jadi kami di tengah-tengah aja.
Dhuha Ramadhani
Kapan sih gedung Dayakologi itu terbakar? Dan sejak saat itu di mana posisi Balaan Tumaan?
Juan Arminandi
Institut Dayakologi itu… aku lupa, 2000-berapa ya…
Dhuha Ramadhani
Pas kuliah atau setelah lulus kuliah?
Juan Arminandi
Setelah lulus kuliah. Eh, pas kuliah, deng! Eh, lupa aku. Pokoknya aku waktu itu mau riset tentang literatur, terus dibilang gedungnya sudah pindah, “Hah???” Terus ternyata terbakar. “Oke…” Dulu itu gedungnya dua lantai. Arsipnya banyak. Sekarang sudah pindah ke tempat lain.
Syahrullah “Ule”
Berarti habis?
Juan Arminandi
Nggak juga habis, sih. Ada beberapa yang bisa diselamatkan.
Dhuha Ramadhani
Nah, di mana tuh posisi Balaan Tumaan menurut kamu? Kan dengan kebakaran itu, berarti ada arsip yang hilang.
Juan Arminandi
Kami cari lagi.
Dhuha Ramadhani
Balaan Tumaan punya gedung gitu?
Juan Arminandi
Enggak.
Dhuha Ramadhani
Bagaimana terus kalian mengarsipkan hasil riset?
Juan Arminandi
Ya masih dipegang secara personal sih sampai sekarang. Karena aku kan juga alumni Prodi Seni. Mereka punya tujuan yang sama untuk mengarsipkan. Jadi kami lumayan terbantu lah. Kita jadi dapat informasi, banyak literatur untuk komparasi. Kami itu bukan untuk beda sendiri, enggak, tapi kami cuma mau melengkapi aja. “Institusinya begitu, yang independen kayak gini.” Jadi banyak yang didapat.
Dhuha Ramadhani
Kan tadi kamu bilang basisnya riset dan pengembangan, pernah ada negosiasi nggak sih sama Prodi Seni itu untuk… misalnya masuk jadi kurikulum, atau kalian jadi dosen tamu gitu, ngajar apa yang kalian teliti. Ini terkait sama pertanyaan awal, soal barat yang lebih banyak dipelajari di kampus, dan tradisi kurang.
Juan Arminandi
Hmm… ada temanku, Yadi (Nursalim Yadi Anugrah). Direktur musiknya Balaan Tumaan. Dia fokusnya di instrumen kaledi. Sampai sekarang masih riset di situ terus. Yang aku suka itu, dia membuat fingering untuk instrumen kaledi itu. Jadi dia buat semacam literatur cara memainkan instrumen kaledi. Jadi fingering itu cara penjariannya, cara membunyikannya. Dia pernah jadi dosen di situ. Aku juga pernah, tapi hanya satu semester. Terus kami nggak dipakai lagi. Nggak tau kenapa, mungkin birokrasi atau apa kami nggak tau.
Dhuha Ramadhani
Kalau dari Taman Budaya atau pemerintah ada respons nggak? Atau… gimana sih mereka memperlakukan musik lokalnya?
Juan Arminandi
Sampai sekarang mereka juga mengadakan festival tradisi. Tapi masih ada hal yang bolong menurutku. Kadang hanya sekadar euforianya aja. Selain itu, kayak edukasi gitu nggak ada. Ya biasa lah pemerintah, kan. Kita juga nggak bisa maksain. Jadi caranya ya kami buat sendiri aja. Kalau pentas ada diskusinya, ada ngobrol-ngobrolnya. Ya aku pikir mereka tahu ya soal Balaan Tumaan. Cuma aku nggak tahu, sampai sekarang yang ngajak kerja sama sih belum ada. Kami malah dapat funding proyek dari luar, funding personal. Untuk menghidupi Balaan Tumaan ya bergerak terus aja!
Dhuha Ramadhani
Kalau kemarin, misalnya ketemu Walikota, itu apa gara-gara keluar negeri atau gimana?
Juan Arminandi
Ya, salah satunya itu hehehe.
Dhuha Ramadhani
Tapi pernah nyoba, nggak, Balaan Tumaan minta hibah dari dana publik pemerintah?
Juan Arminandi
Hmm aku bukan orang manajemen, jadi nggak tahu. Biasanya temanku yang buat proposal gitu-gitu.
Dhuha Ramadhani
Kalau misalnya di dinas apa itu, misalnya ekonomi kreatif, pasti kan ada pos tuh untuk dipakai sama publik. Kalau mau, ngajuin. Daripada dipakai buat yang lain…
Juan Arminandi
Belum tahu. Tapi aku lebih memilih untuk mandiri. Kalau pun ada funding, harus diobrolin dulu biar nggak semena-mena. Misalnya mereka mengubah tema atau apa. Kalau distir kan bahaya. Aku milih, kalau mereka nggak mau pakai konsep kita, yaudah mending cari yang lain.
Dhuha Ramadhani
Emang bahaya distirnya itu mereka nyetir ke arah mana?
Juan Arminandi
Aku takutnya, mereka malah hanya sekadar hiburan gitu aja loh. Itu bahaya sekali. Lama-kelamaan musik kita, atau tradisi kita, hanya sekadar hiburan.
Dhuha Ramadhani
Emang kenapa kalau bukan hiburan?
Juan Arminandi
Karena di dalam itu ada yang lain. Kalau menonton sebuah pertunjukan, aku biasanya mengalami banyak hal. Bisa ngomongin ekonomi, rasisme, atau perang, atau apa. Jadi bukan hanya sekadar hiburan.
Dhuha Ramadhani
Tapi teman-teman Balaan Tumaan sebenarnya resisten sama pemerintah nggak sih? Atau baik-baik saja?
Juan Arminandi
Baik-baik saja sebenarnya haha. Untuk menjaga silaturahmi saja hahaha. Tapi kalau untuk sebuah pertunjukan, kita harus diskusi dulu. Biar nggak hanya mereka dapat laporan, dapat foto-foto, selesai.
Pingkan Polla (anggota 69 Performance Club yang kebetulan berada di tempat dan menyimak wawancara)
Tadi kan aku dengerin. Hmm… semakin jauh kamu mendalami musik, kan lama-lama kamu ketemu dengan jenis seni yang lain, misalkan kayak tari-tarian, gitu. Mungkin seni pertunjukan yang lain, seperti teater. Terus dari pertemuan-pertemuan dengan bentuk kesenian lain itu kamu punya temuan nggak? Dari pengalaman kamu. Karena kayak di performance art sendiri itu kan sudah sering terjadi. Nah itu buat kamu itu berlaku apa?
Juan Arminandi
Memahami proses sih kalau menurutku. Karena prosesnya beda-beda. Mediumnya beda, prosesnya beda. Kadang aku suka diminta membuat musik dalam waktu yang singkat. “Hah??? Bikin musik itu nggak mudah loh, nggak hanya sekadar main musik.” Sama aja ketika aku ketemu orang tari. Aku mencoba untuk merasakan menari. Aku pernah punya proyek yang aku di situ juga menari. Aku pentas di Jepang, di situ aku nari, dan malah nggak main musik. Aku merasakan, “Wah ini susah ya.” Kita harus mengerti tubuh kita, terus harus mengerti, harus memahami jari kita, bagaimana dia bergerak, apa yang bergerak, ke mana dia bergerak. Terus teater, harus menghafal teks naskahnya. “Aduh! Ini susah juga ya.” Jadi masing-masing itu beda. Menariknya adalah aku merasakan itu. Ketika aku minta tolong sama orang, aku mikir-mikir dulu, waktunya cukup nggak ya. Karena prosesnya memang nggak bisa instan. Serunya di situ. Aku bekerja memahami bagaimana mereka bekerja, bagaimana mereka menginterpretasi sebuah ruangan.
Pingkan Polla
Kalau temuan lain ada nggak? Seperti gabungan dari pengalaman kamu bekerja dengan seni yang lain. Secara artistik atau konsep dalam berkarya.
Juan Arminandi
Ya dulunya aku straight, mbak.
Pingkan Polla
Hah? Maksudnya???
Semua
Hahahahahaha
Juan Arminandi
Strict! Maksudnya, kalau musik ya musik aja. Nggak peduli dengan yang lain. Tapi setelahnya aku mikir, visualnya juga harus diperhatikan, ruangannya gimana untuk telinga pendengar. Lalu juga belajar untuk mengemas pertunjukan. Lightingnya gimana, misalnya pakai yang 500 watt atau 1.000 watt di ukuran ruangan tertentu jadinya bagaimana.
Dhuha Ramadhani
Kamu ngasih muatan nggak ke musikmu? Misalnya kayak kemarin ada suara-suara teriakan-teriakan lokal, ada lagu-lagu lokal, itu lebih penting bunyinya atau narasinya gitu?
Juan Arminandi
Tergantung karyanya. Kadang ada yang lebih penting narasinya, kadang lebih penting bunyinya.
Dhuha Ramadhani
Contohnya?
Juan Arminandi
Pantun, misalnya.
Dhuha Ramadhani
Di proyek mana yang lebih fokus?
Juan Arminandi
Aku lebih milih ke karyanya sih. Karya apa yang mau aku sampaikan. Misalnya di sini ada pantun nih, ada pantun yang menarik, karena pantunnya diambil dari pantun tradisi atau pantun pantun zaman dulu, nah kalau pantunnya kita hilangkan, diambil bunyinya saja, padahal kita pengen menyampaikan pantunnya kan, ya… nggak sampai, nggak akan sampai. Jadi harus dipilih dulu, apa yang mau kita sampaikan atau apa yang pengen kita utarakan. Misalnya kalau di bagian A aku hanya perlu bunyinya saja, gitu. Ada kata-katanya yang nggak jelas gak masalah. Yang penting bunyinya sampai dulu. Di bagian B ini aku perlunya mantra, misalnya, bunyinya lebih penting. Toh kadang-kadang kita juga nggak tahu waktu dukun ngomong apa, kan?
Dhuha Ramadhani:
Komat-kamit.
Juan Arminandi
Iya. komat-kamit, kita juga nggak tahu kan. Tapi mereka mereka punya cara sendiri untuk berkomunikasi. Lagi-lagi memilih, apa yang harus atau mau disampaikan, ditambah, pada siapa? Karena kalau menurutku, kembali lagi, sekarang kita hidup di dunia yang kompleks, kita nggak bisa setuju dengan satu orang atau cara aja gitu. Misalnya, kalau ada yang menonton ini, yang menonton wawancaraku, ada yang gak setuju dengan aku, ya gapapa gitu, kan. Silakan saja, kita bebas kok, kita bebas untuk untuk diskusi kok. Begitu, kan. Misalnya pandangku sekarang ini dipandang salah oleh mereka, ya, kita bisa ngobrol. Aku juga kadang-kadang perlu feedback, “Oh kamu ini salah loh.” Nah, “salahnya di mana?” Lalu dia menjelaskan, “bla bla bla”, kalau itu betul menurutku, oke, berarti aku yang salah. Aku akui kalau aku salah. Itu sih menurutku. Karena kita perlu diskusi, perlu ngobrol, harus cari tahu dulu.
Dhuha Ramadhani
Setahun ke depan ada proyek apa? Atau, apa yang kamu bayangka?
Juan Arminandi
Pengen buat album, tentang kebakaran hutan, karena sekarang ibukota akan pindah hahaha. Ibukota Kalimantan aku nggak tahu, ini aku prediksi ya, kabut asap pasti masih ada tahun ini. Aku nggak tahu ya, berapa tahun ke depan akan banyak pembangunan jadi seperti apa. Tapi aku bersyukur, ibukotanya bukan di Pontianak hahaha. Tapi ya walaupun bukan di Pontianak kan tapi aku di pulau yang sama. Aku merasakan hal yang sama dengan teman-teman Kalimantan yang lain. Kalau sudah kena kabut asap ya pakai masker semua. Baik itu di Samarinda, Balikpapan, Palangkaraya!
Dhuha Ramadhani
Ada “jadwalnya” nggak, sih, itu kabut asap?
Juan Arminandi
Musim kemarau. Nggak ada hujan, kan. Bakar ya bakar…. seeett…
Dhuha Ramadhani
Kita tahu, masyarakat ada juga yang secara tradisional “membakar” lahan atau hutan untuk buka ladang. Menurutmu gimana?
Juan Arminandi
Beda. Kalau mereka pasti dijaga. Mereka punya sistem. Ada kepercayaan bahwa hutan itu harus dijaga. Kalau mereka bakarnya banyak, ya berarti mereka melanggar aturan mereka, melanggar kepercayaan mereka. Tanah kalimantan kan gambut dan mudah terbakar, sampai sekarang banyak faktor yang menyebabkan kebakaran hutan. Apakah dibakar orang atau memang terbakar sendiri karena pohonnya banyak ditebang. Jadi kalau ada kebakaran hutan, masih belum jelas apakah di bakar atau karena terbakar sendirinya akibat panas matahari.
Soal pembukaan lahan, lahan perkebunan kan berhektar-hektar. Kalau masyarakat Dayak menurutku enggak seekstrem itu. Mereka pasti buka lahan bersama, terus dijaga bersama.
Dhuha Ramadhani
“Mereka”?
Juan Arminandi
Aku Bugis sebenarnya. Tapi sudahlah, kadang yang aku takutkan itu adalah rasisme, aku takut itu sebenarnya. Nanti kita nggak bisa berteman dengan yang lain hahaha. Di Pontianak masih sering ditanyakan, “suku kamu apa?” Ini sebuah pertanyaan yang berat menurutku. Dan di sini terkadang pada momen tertentu rasis dijadikan alat untuk memecah belah masyarakat. Aku sendiri harus melihat siapa yang aku ajak bicara. Karena aku mempunyai darah campuran, ada darah Bugis, Melayu, Dayak, dan Cina.
Syahrullah “Ule”
Oke.. Pertanyaan terakhir. Kamu ngapain di sini?
Semua
Hahahahaha
Juan Arminandi
Aku cari tempat nginep gratis hahahaha. Awalnya dari Theo (Theo Nugraha, seniman bunyi, Samarinda).
Juan Arminandi
Aku juga nggak kenal sama Theo sebenarnya.
Semua
Loh? hahaha
Juan Arminandi
Jadi waktu Cemeti (Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat, Yogyakarta) ke Samarinda, aku lihat instagramnya. Terus aku kontak Theo, aku bilang mau ke Jakarta, “cari tempat nginep gratis”. Dia bilang hubungi Ule aja. Ya sudah, aku hubungi Ule aja ini… hahaha.
Syahrullah “Ule”
Berarti kamu belum pernah ketemu Theo?
Juan Arminandi
Belum. Koneksi! hahaha.
Dhuha Ramadhani
Ada satu pertanyaan yang ketinggalan. Apa pentingnya kota buat kamu?
Juan Arminandi
Lebih penting ke manusianya sih buatku. Aku buat proyek ini itu karena aku melihat keponakanku. Dia masih bayi tapi harus kena asap, “Waaah parah ini!” Asap kan masuk sampai ke dalam rumah, masuk ke mana-mana. Terus bagaimana dengan orang tuaku? Orang-orang lansia. Aku nggak bisa bantu dengan tenaga untuk memadamkan api. Aku bisanya ya kayak gini, “menyuarakan” kayak gini. Aku punya jalanku sendiri untuk membantu yang lain.
Ya, hubungan antar manusia itu lebih penting buatku. Di Jerman itu lebih individualis. Di luar itu aku harus cari tempat tinggal sendiri, nggak ada yang mau nginepin gratis. Di sini, tinggal kontak Theo!
SELESAI
Juan Arminandi
Juan Arminandi adalah seorang musisi dan kompeser dari Pontianak, Kalimantan. Di tahun 2018 dia merancang instrumen sendiri berdasarkan instrumen tradisional dari Kalimantan (sape dan selodang) yang ia namakan MU74n (mutant). Visi Juan, MU74n ini bisa merepresentasikan suara Kalimanatan saat ini.
Selain membuat instrumen, dia aktif ikut serta dengan berbagai proyek eksplorasi musik eksperimental serta meriset tradisi musuk dari Kalimantan.
Juan Arminandi is a musician and composer from Pontianak, Kalimantan. In 2018 he designed his own instrument based on a traditional instrument from Kalimantan (sape and selodang) which he named MU74n (mutant). Juan’s vision, MU74n can represent the Kalimanatan voice at this time.
In addition to making instruments, he actively participated in various experimental music exploration projects and researched musical traditions from Kalimantan.